Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengapa Wanita Korsel Enggan Punya Anak?

Susi Susanti , Jurnalis-Rabu, 28 Februari 2024 |18:32 WIB
Mengapa Wanita Korsel Enggan Punya Anak?
Mengapa wanita Korsel enggan punya anak? (Foto: Jean Chung)
A
A
A

SEOUL - Pada suatu Selasa (27/2/2024) sore yang hujan, Yejin sedang memasak makan siang untuk teman-temannya di apartemennya, tempat dia tinggal sendirian di pinggiran kota Seoul, Korea Selatan (Korsel). Di apartemen ini, dia hidup melajang bahagia.

Saat mereka makan, salah satu dari mereka menampilkan meme kartun dinosaurus di ponselnya. "Hati-hati," kata dinosaurus. “Jangan biarkan dirimu punah seperti kami," lanjut tulisan meme itu.

Semua wanita tertawa. “Ini lucu, tapi ini kelam, karena kita tahu kita bisa menyebabkan kepunahan kita sendiri,” kata Yejin, seorang produser televisi berusia 30 tahun.

Baik dia maupun teman-temannya tidak berencana memiliki anak. Mereka adalah bagian dari komunitas perempuan yang terus berkembang dan memilih kehidupan tanpa anak.

Korea Selatan mempunyai tingkat kelahiran terendah di dunia, dan angka kelahirannya terus menurun, melampaui rekor terendahnya dari tahun ke tahun.

Angka yang dirilis pada Rabu (28/2/2024) menunjukkan penurunan sebesar 8% lagi pada tahun 2023 menjadi 0,72. Tingkat kelahiran di Seoul telah merosot menjadi 0,55, yang terendah di negara tersebut.

Angka ini mengacu pada jumlah anak yang diharapkan dimiliki oleh seorang perempuan seumur hidupnya. Agar populasi tetap stabil, angkanya harus 2,1.

Jika tren ini terus berlanjut, populasi Korea diperkirakan akan berkurang setengahnya pada tahun 2100.

Secara global, negara-negara maju mengalami penurunan angka kelahiran, namun tidak ada penurunan yang ekstrim seperti Korea Selatan.

Dalam waktu 50 tahun, jumlah penduduk usia kerja akan berkurang setengahnya, jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer akan menyusut sebesar 58%, dan hampir separuh populasi akan berusia di atas 65 tahun.

Hal ini menjadi pertanda buruk bagi perekonomian, dana pensiun, dan keamanan negara sehingga para politisi menyatakannya sebagai darurat nasional.

Selama hampir 20 tahun, pemerintahan berturut-turut telah mengeluarkan dana untuk mengatasi masalah ini. Tepatnya 379,8 triliun KRW atau USD286 miliar.

Pasangan yang memiliki anak diberikan uang tunai, mulai dari bantuan bulanan hingga perumahan bersubsidi dan taksi gratis. Tagihan rumah sakit dan bahkan perawatan IVF ditanggung, meski hanya bagi mereka yang sudah menikah.

Insentif finansial seperti ini tidak berhasil, sehingga membuat para politisi memikirkan solusi yang lebih “kreatif”, seperti mempekerjakan pengasuh anak dari Asia Tenggara dan membayar mereka di bawah upah minimum, dan mengecualikan laki-laki dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak sebelum mencapai usia 30 tahun.

Tidak mengherankan jika para pembuat kebijakan dituduh tidak mendengarkan generasi muda terutama perempuan, mengenai kebutuhan mereka. Jadi, selama setahun terakhir kami telah melakukan perjalanan keliling negeri, berbicara dengan para perempuan untuk memahami alasan di balik keputusan mereka untuk tidak memiliki anak.

Ketika Yejin memutuskan untuk hidup sendiri di usia pertengahan 20-an, dia menentang norma-norma sosial. Di Korea, kehidupan lajang dianggap sebagai fase sementara dalam kehidupan seseorang.

Lima tahun lalu, dia memutuskan untuk tidak menikah, dan tidak memiliki anak.

“Sulit untuk menemukan pria yang bisa berkencan di Korea, pria yang mau berbagi pekerjaan rumah dan mengasuh anak secara setara,” katanya kepada BBC.

“Dan wanita yang memiliki bayi sendirian tidak akan dinilai dengan baik,” lanjutnya.

Pada 2022, hanya 2% kelahiran di Korea Selatan yang terjadi di luar nikah.

Sebaliknya, Yejin memilih untuk fokus pada karirnya di televisi, yang menurutnya tidak memberinya cukup waktu untuk membesarkan anak. Jam kerja di Korea terkenal panjang.

Yejin melakukan pekerjaan tradisional jam 09.00 – 18.00 atau setara dengan jam 09.00 – 17.00 di Korea. Namun dia biasanya tidak meninggalkan kantor sampai jam 20.00 dan selain itu ada waktu lembur. Sesampainya di rumah, dia hanya punya waktu untuk membersihkan rumah atau berolahraga sebelum tidur.

“Saya mencintai pekerjaan saya, pekerjaan ini memberi saya kepuasan,” katanya.

“Tetapi bekerja di Korea itu sulit, Anda terjebak dalam siklus kerja yang terus-menerus,” lanjutnya.

Yejin mengatakan ada juga tekanan untuk belajar di waktu luangnya, agar menjadi lebih baik dalam pekerjaannya.

"Orang Korea mempunyai pola pikir bahwa jika Anda tidak terus-menerus berupaya mengembangkan diri, Anda akan tertinggal, dan gagal. Ketakutan ini membuat kita bekerja dua kali lebih keras,” terangnya.

Dia juga memiliki ketakutan yang sama dengan setiap perempuan. Yakni jika dia mengambil cuti untuk memiliki anak, dia mungkin tidak dapat kembali bekerja.

“Ada tekanan tersirat dari perusahaan bahwa ketika kami mempunyai anak, kami harus meninggalkan pekerjaan kami,” katanya. Dia telah menyaksikan hal itu terjadi pada saudara perempuannya dan dua presenter berita favoritnya.

Sementara itu, seorang perempuan berusia 28 tahun, yang bekerja di HR, mengatakan bahwa dia pernah melihat orang-orang yang terpaksa meninggalkan pekerjaannya atau tidak mendapat promosi setelah mengambil cuti hamil, dan hal ini sudah cukup untuk meyakinkan dia untuk tidak pernah punya bayi.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement