JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina menyoroti meninggalnya seorang dokter spesialis ortopedi dan traumatologi RSUD Sulawesi Barat (Sulbar), dr Helmiyadi Kuswardhana. Wafatnya satu-satunya dokter spesialis tulang di Sulbar itu dinilai sebagai tanda Indonesia kekurangan dokter spesialis.
“Ini semakin mengindikasikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan dalam hal kekurangan dokter spesialis,” ujar Arzeti, Selasa (23/7/2024).
Arzeti menyampaikan duka cita atas meninggalnya dr Helmiyadi. Kendati begitu, ia mendorong Pemerintah untuk menciptakan lebih banyak dokter spesialis di Indonesia.
"Saya harap ini menjadi evaluasi bagi Pemerintah untuk meningkatkan penciptaan dokter spesialis," katanya.
Diketahui, dr. Helmi yang dikenal sebagai konten kreator kesehatan. Sebelum meninggal, Helmi melakukan operasi sebanyak 10 kali dalam satu hari di dua rumah sakit. Hal tersebut harus dilakukan lantaran Helmi merupakan satu-satunya dokter spesialis tulang di Sulbar.
“Mendengar kabar bahwa almarhum harus melakukan operasi 10 kali dalam satu hari, itu cukup memilukan. Seperti inilah potret kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan kita, terutama di daerah,” tuturnya.
Lebih lanjut, Arzeti mengatakan penyebaran dokter yang tidak merata juga menjadi permasalahan kesehatan Indonesia. Merujuk data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), ia berkata, hanya ada 11 dari 59.422 dokter yang bertugas di Sulawesi Barat.
Jumlah tersebut, katanya, sudah mencakup seluruh dokter dari 46 kelompok spesialisasi, mulai dari spesialis anak (Sp.A), spesialis bedah (Sp.B), sampai kelompok spesialis kedokteran gigi seperti ortodonti (Sp.Ort) dan odontologi forensik (Sp.OF).
“Dan ini terjadi juga di daerah-daerah lain. Kondisi tersebut sangat meresahkan karena dengan kurangnya dokter, pelayanan kesehatan kepada masyarakat pastinya juga tidak akan maksimal,” ucap Arzeti.
“Masalah kurangnya dokter spesialis sudah sering menjadi pembahasan kami di Komisi IX DPR dengan Menkes. Ini menjadi PR kita bersama agar bagaimana kekurangan dokter spesialis bisa segera teratasi,” imbuhnya.
Arzeti pun mendukung optimalisasi penciptaan dokter spesialis melalui program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit pendidikan dan berbasis universitas. Ia menilai, berbagai upaya yang dilakukan untuk mencetak dokter spesialis dapat mengurangi ketimpangan distribusi dokter di Tanah Air.
“Karena banyak dokter yang terkonsentrasi di perkotaan sehingga masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil tidak memiliki akses. Ketimpangan ini menjadi salah satu masalah utama dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia. Harus kita atasi,” tutur Arzeti.
Arzeti juga mendukung upaya Pemerintah untuk mengatasi kekurangan 29.000 dokter spesialis di Indonesia. Terutama karena mencetak dokter spesialis membutuhkan waktu yang tidak sebentar di mana Indonesia hanya mampu memproduksi 2.700 dokter per tahun.
“Kita harus temukan formula paling tepat agar bagaimana saudara-saudara kita di daerah mendapatkan pelayanan dokter spesialis demi majunya sistem pelayanan kesehatan Indonesia. Tentunya formula tersebut harus berkeadilan untuk semua pihak,” tutur Arzeti.
(Fakhrizal Fakhri )