NATUNA - Menjaga perbatasan Indonesia di pulau terluar bukan perkara mudah. Apalagi harus jauh dari keluarga. Rasa rindu akan orang-orang tercinta kerap menyelimuti hari-hari di tengah pengabdian. Itulah yang dialami petugas penjaga perbatasan NKRI di Natuna, Kepulauan Riau.
Tedy Wibisono misalnya. Pria asal Bandung, Jawa Barat ini harus rela meninggalkan anak dan istrinya demi tugas di Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas II Ranai, Kabupaten Kepulauan Natuna.
Hampir lima tahun Tedy mengabdi sebagai penjaga gerbang utara NKRI di Natuna. Ia kini dipercaya sebagai Kepala Seksi Lalu Lintas Izin Tinggal Keimigrasian di Kanim Ranai. Tak seperti pejabat imigrasi daerah perkotaan yang bergelimang kemudahan, Tedy harus menyesuaikan diri dengan segala keterbatasan di pulau terluar Indonesia itu. Tapi, ia setia dengan pengabdiannya.
"Kalau ditanya merah putih atau enggak? Merah Putih sekali pak. NKRI harga matilah pokoknya di sini," kata Tedy saat ditemui di Ranai, Kabupaten Natuna tengah pekan lalu.
Petugas Imigrasi di Natuna memang mengemban tugas cukup berat dibanding daerah lainnya. Mereka harus menyisir puluhan pulau di Natuna. Kadang mereka bergantian untuk berjaga di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Pulau Serasan.
PLBN Serasan merupakan PLBN laut pertama di Indonesia. Meski belum resmi beroperasi, tapi sudah ada petugas Imigrasi yang disiagakan di sana. PLBN Serasan letaknya sangat jauh dari Ranai, Ibu Kota Kepulauan Natuna. Butuh sekitar 10 jam perjalanan laut.
"PLBN aja dari sini (ke Ranai) udah 10 jam, keluarga jauh, apalagi kalau udah denger anak sakit, pasti kita khawatir," tutur Tedy.
Sedikitnya, ada dua petugas Imigrasi yang selalu bergantian tugas selama 21 hari menjaga PLBN Serasan.
PLBN Serasan dibangun karena dekat dengan Laut China Selatan. Tiongkok mengklaim sepihak wilayah perairan Natuna yang menimbulkan ketegangan dengan Indonesia.
Nelayan asing kerap melintas perairan Pulau Serasan, bahkan mencuri ikan di sana. Atas dasar itu, pemerintah kemudian membangun PLBN Serasan.
Bagi Tedy, tak terbesit sama sekali untuk memboyong keluarga kecilnya dari Bandung ke Natuna. Sebab, belum banyak fasilitas yang memadai di Ranai, yang sebenarnya lebih layak disebut desa dibandingkan kota. Penduduknya juga tak ramai.

Infrastruktur jalan di Ranai memang cukup bagus, tapi jarang kendaraan lalu lalang. Rumah sakit dan sekolah pun tak banyak. Rinai lebih banyak dihuni pendatang dan nelayan. Sementara, daerah Pulau Natuna lainnya juga masih sangat sepi.
"Karena memang di sini pendidikannya juga kurang memadai, kesehatannya pun sama, jadi kalau kita sakit pun harus dirujuk minimal ke Batam, nah Batam itu kan harus menempuh waktu dan biaya juga," ungkap Tedy.
Satu-satunya obat pelepas rindu Tedy dengan keluarga hanya lewat video call. Untungnya, sinyal beberapa provider di Ranai cukup bagus. Tedy masih bisa berkomunikasi dengan keluarga meski hanya lewat telepon genggam.
"Kecuali kalau ada yang urgent sekali, keluarga sakit, kita enggak bisa setiap saat pulang, karena kan pesawat aja sehari sekali dan itu pun kadang full, kita harus cari hari berikutnya. Apalagi kalau kita ditugaskan di PLBN," beber dia.
Tedy juga tak sungkan menceritakan penghasilannya sebagai PNS Ditjen Imigrasi Kemenkumham di daerah perbatasan. Kata dia, tunjangan petugas Imigrasi berbeda dengan TNI dan Polri di daerah perbatasan.
Sebagai PNS Ditjen Imigrasi di daerah perbatasan, Tedy mengaku hanya mendapat remunisasi. Berbeda dengan anggota TNI-Polri yang mendapat tunjangan lainnya ketika bertugas di Natuna.
"Kita tidak seperti TNI yang mendapat uang lauk-pauk, uang tunjangan kemahalan, nah kalau kita sampai detik ini, sampai sekarang belum ada. Mudah-mudahan nanti pemerintah memperhatikan juga selain dari TNI - Polri, karena kita petugas juga," ucapnya.
Senada dirasakan Kasi Teknologi Informasi Keimigrasian Kanim Ranai, Tito Teguh Raharjo. Bagi Tito, hal yang paling berat ketika bertugas di Natuna adalah jauh dari keluarga. Ia mengaku kerap tak bisa berbuat apa-apa ketika mendengar kabar keluarganya sakit.
"Kita jauh dari keluarga, rasa rindu itu dengan keluarga dengan anak dan istri itu pasti ada, di saat sakit juga kita enggak bisa melihat mereka, mau pulang pun terkendala dengan pekerjaan juga," kata Tito.

Tugas imigrasi di wilayah perbatasan seperti Natuna memang tak sedikit. Salah satunya adalah melakukan clearence atau pengecekan dokumen perizinan bagi orang asing yang masuk ke wilayah itu.
Punggawa Imigrasi Ranai harus menyisir kapal-kapal asing yang berada di Kepulauan Natuna. Terutama soal dokumen orang asing yang ada di kapal tersebut. Apalagi, Imigrasi belum memiliki kapal ataupun perahu untuk menyisir ke kapal-kapal asing.
Beberapa hari lalu, petugas Imigrasi Ranai melakukan clearence kapal asal Hong Kong. Kapal tersebut terparkir di perairan Pulau Sedanau, Natuna. Dari Ranai, butuh waktu sekira 2 jam untuk mencapai Pulau Sedanau. Itupun kalau cuaca bersahabat.
Para petugas Imigrasi harus menempuh perjalanan darat terlebih dahulu dari Ranai menuju Pelabuhan Seminte. Pelabuhan Seminte merupakan titik terdekat untuk menuju Pulau Sedanau. Butuh 1,5 jam perjalanan.
Pelabuhan Seminte merupakan tempat transit perahu kecil. Dermaga kecil itu hanya ada jembatan kayu dan rumah singgah tempat untuk naik turun nelayan.
Dari Pelabuhan Seminte, para petugas Imigrasi harus menyewa perahu nelayan untuk bisa tiba di Dermaga Pelabuhan Sedanau. Pelabuhan Sedanau jauh lebih besar dan lengkap ketimbang Seminte. Waktu tempuh dari Pelabuhan Seminte ke Sedanau menggunakan perahu kecil sekira 45 menit.
Butuh usaha lebih bagi para petugas imigrasi untuk bertugasnya mengawasi orang-orang asing yang masuk ke perairan Natuna. Untuk mencapai satu pulau saja, para petugas bisa menghabiskan waktu seharian. Belum lagi dengan kendala cuaca dan pasang surut air laut.
(Salman Mardira)