Menyadari keterbatasan yang ada, bangsa Indonesia menerapkan strategi Perang Rakyat Semesta, di mana semua elemen masyarakat bersatu dengan TNI untuk mempertahankan integritas dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir 1949, dibentuklah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Angkatan Perang RIS (APRIS), yang merupakan gabungan TNI dan KNIL, dengan TNI sebagai inti. Namun, pada Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan, sehingga APRIS pun berganti nama menjadi Angkatan Perang RI (APRI).
Pada tahun 1962, upaya penyatuan angkatan bersenjata dan kepolisian dilakukan melalui pembentukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Langkah ini bertujuan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan tugas, serta menghindari pengaruh kelompok politik tertentu.
Memasuki era reformasi pasca-Soeharto pada 1998, TNI mengalami perubahan besar yang mengubah peran militer dalam politik. Penghapusan dwifungsi ABRI menjadi salah satu langkah signifikan, di mana posisi kepolisian juga dipisahkan dari militer yang menjadikan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai entitas mandiri pada tahun 2000.
Nama ABRI akhirnya kembali diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan penetapan beberapa undang-undang baru yang memperkuat struktur dan fungsi TNI serta kepolisian. Tiga peraturan perundang-undangan baru yaitu UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.