Kata Haedar, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam sejak lahirnya pada tahun 1912 hadir untuk persaudaraan kemanusiaan bagi seluruh umat. Menurutnya, Muhammadiyah yang berlandaskan teologi Al-Ma’un mempunyai pengalaman sejarah yang mendalam tentang gerakan Islam moderat dalam mengedepankan cara hidup bersama dalam pola pikir terbuka, toleran, peran kemanusiaan, dan lingkungan damai meskipun ada keberagaman agama, suku, budaya dan kelompok sosial dalam masyarakat di Indonesia.
Muhammadiyah di tangan Haedar Nashir juga terus mengembangkan persaudaraan kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat melalui pembangunan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, kepedulian sosial, pemberdayaan ekonomi, pengembangan masyarakat dan upaya lainnya.
“Gerakan ini kami namakan “Muhammadiyah for All”, Muhammadiyah untuk Semua. Di wilayah timur Indonesia, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, mayoritas penduduknya beragama non muslim, Muhammadiyah telah membangun lembaga-lembaga inklusif, termasuk hadirnya empat universitas di Papua dan dua universitas di NTT. Muhammadiyah menggalakkan integrasi sosial bagi warga sekitar yang sebagian besar beragama Kristen dan Katolik,” jelas Haedar.
Dalam konteks global, Muhammadiyah telah memainkan peran penting dalam penyelesaian konflik di Filipina bagian selatan dan Thailand bagian selatan. Muhammadiyah juga telah menjalankan program kemanusiaan di Rohingya dan Cox’s Bazar di Bangladesh.
“Muhammadiyah juga membangun Madrasah di Beirut untuk anak-anak Palestina dan satu sekolah di Rahine untuk anak-anak Rohingya. Semua itu dilatarbelakangi oleh rasa kemanusiaan dan kesadaran bahwa dalam peradaban modern, seluruh umat manusia berhak hidup bahagia dan hidup berdampingan secara damai tanpa adanya diskriminasi, penderitaan, dan penindasan,” pungkasnya.
(Awaludin)