Beberapa hari setelah terpilih sebagai Presiden AS ke-47, Trump langsung melontarkan ancaman kepada Hamas untuk segera mebebaskan sandera atau menghadapi “neraka”. Meski belum mengungkap strategi jelas mengenai upaya perdamaian yang akan dilakukannya di Gaza, ancaman dari Trump tidak menimbulkan kepercayaan terhadap kemampuan AS sebagai mediator yang baik.
Ada asa bahwa Trump dapat menekan Israel untuk melakukan gencatan senjata mengingat hubungannya dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Namun, nama yang terakhir sedang berjuang mempertahankan jabatannya, dan tampaknya ingin perang terus berlangsung demi mencapai tujuan itu.
Sementara itu, rivalitas AS dan China juga tengah memuncak, terkait dalam berbagai isu miulai dari ekonomi, perdagangan, sengketa di Laut Cina Selatan, hingga Taiwan. Ketegangan ini memunculkan potensi konflik baru, terutama terkait Taiwan.
Berkaca pada masa pemerintahan pertamanya, Trump cenderung hawkish dan konfrontatif terhadap China. Kita tidak lupa bagaimana Trump melancarkan apa yang dia sebut sebagai perang dagang dengan Beijing, yang dampaknya dirasakan secara global.
Situasi di Selat Taiwan juga semakin memanas dalam beberapa tahun belakangan, dengan Presiden China Xi Jinping menegaskan pada pidato Tahun Baru bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Beijing untuk bersatu kembali dengan Taiwan. Bergantung pada sikap Trump, ini berpotensi memicu konflik terbuka antara China dengan AS.
Selain itu Trump juga sangat bermusuhan dengan Iran, yang merupakan seteru AS dan Israel di Timur Tengah. Serangkaian kebijakan Trump pada masa pemerintahan pertamanya, terutama keputusannya untuk memerintahkan pembunuhan terhadap pemimpin pasukan Quds Iran, Jenderal Qassem Soleimani, telah meningkatkan ketegangan di Timur Tengah secara signifikan, yang jika diulangi, bukan tidak mungkin memicu perang yang lebih hebat.