Hingga saat ini, konflik masih terus berlangsung dan tampaknya masih akan berlanjut, meski situasi di lapangan menunjukkan Ukraina terus kehilangan sejumlah wilayah yang kini telah dikuasai oleh pasukan Rusia.
Komentar Trump tersebut banyak ditanggapi dengan keraguan dari berbagai pihak, termasuk Rusia dan Ukraina. Ini terutama karena saat itu Kyiv menolak melakukan perundingan apa pun dengan Moskow untuk menghentikan perang.
Namun, ketergantungan Ukraina akan bantuan dan persenjataan kiriman AS mungkin bisa menjadi kunci bagi Trump untuk memaksa Presiden Zelensky ke meja perundingan. Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyatakan kesediaannya untuk melakukan negosiasi guna mengakhiri perang.
Pertanyaan lain yang muncul adalah “harga” yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik. Baik Ukraina dan Rusia menolak untuk menyerahkan wilayah yang telah berpindah tangan selama konflik.
Banyak spekulasi mengenai apa yang akan ditawarkan Trump kepada Moskow dan Kyiv untuk mengakhiri perang. Banyak yang meyakini bahwa Rusia tidak akan menerima syarat apapun yang berkaitan dengan penyerahan wilayah yang direbut pasukannya selama operasi militer, atau pun terkait dengan kehadiran pasukan asing di Ukraina.
Jika negosiasi ini terjadi dengan syarat Rusia, maka Ukraina harus kehilangan setidaknya seperlima dari wilayahnya yang telah direbut pasukan Moskow. Rusia juga tidak akan mengizinkan Ukraina untuk bergabung dengan NATO, yang menjadi salah satu alasan Moskow melancarkan operasi militernya.
Meski tenggat waktu 24 jam mungkin tidak akan terpenuhi, banyak yang memperhatikan langkah apa yang akan diambil Trump terkait konflik ini setelah dia dilantik pada 20 Januari mendatang.
Konflik lain yang diharapkan dapat diselesaikan Trump adalah perang antara Hamas dan Israel di Gaza, Palestina. Namun, harapan terkait netralitas Trump dalam konflik ini telah memudar, berkaca pada kebijakannya di Timur Tengah pada masa jabatan pertama dan pilihan menteri kabinetnya.
Politik luar negeri yang dijalankan Trump pada masa jabatan pertamanya, serta pilihan menteri kabinetnya yang sangat pro-Israel seakan menunjukkan bahwa Trump tidak akan memberikan solusi yang adil bagi Palestina di Gaza.