JAKARTA - Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia terus relevan dan harus diaktualisasikan dalam menghadapi tantangan zaman. Khususnya oleh generasi Z.
Pancasila punya peran yang sangat vital dalam mempersatukan seluruh elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Pancasila menjadi perekat yang mempersatukan di tengah pluralitas Nusantara nan amat kompleks.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bung Karno (UBK), Franky Roring mengatakan, Pancasila tidak menghilangkan identitas individu atau kelompok manapun, tetapi justru menjadi pemersatu bagi bangsa yang beragam.
“Dengan menjadi Pancasila bukan berarti kita melepaskan identitas kita, bukan mengedepankan golongan atau kelompok kita,” kata Franky.
“Orang Muslim tetap Muslim walaupun dia jadi Indonesia dengan Pancasila, orang Kristen tetap Kristen walaupun dia menerima Pancasila, orang Budha tetap Budha walaupun dia menjadi Indonesia dengan Pancasila. Jadi tidak ada satupun identitas yang harus dikorbankan dengan menerima Pancasila,” sambungnya.
Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, Franky mengatakan Pancasila punya peran yang sangat vital dalam mempersatukan seluruh elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke. Pancasila menjadi perekat yang mempersatukan di tengah pluralitas Nusantara nan amat kompleks.
"Orang Jawa, orang Maluku, orang Sumatera adalah entitas yang berdaulat sebelum Belanda datang. Mereka adalah tuan atas tanahnya sendiri. Jadi ketika dia menjadi bangsa, apa artinya? Bagaimana menyatukan bangsa kita yang beragam ini tanpa harus menyergamkannya? Cuma satu, apa itu? Pancasila," katanya.
Gambaran ini, menurutnya, mencerminkan nasionalisme Indonesia yang unik, yang lahir dari konsensus kesadaran untuk bersatu meski berasal dari latar belakang yang berbeda.
Ia juga menyoroti pentingnya memahami bahwa Pancasila bukanlah tandingan moral atau agama. Alih-alih, Pancasila justru merangkum cerminan nilai-nilai luhur yang telah ada di tengah masyarakat Indonesia sebelum konsep ini dicetuskan.
“Bung Karno tidak menciptakan Pancasila, tetapi merumuskan kembali nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat,” tegasnya.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyoroti kerapuhan etika penyelenggara Negara dalam berbangsa dan bernegara dalam perspektif budaya hukum.
Banyak ditemukannya pelanggaran yang justru dilakukan oleh aparatur negara membuat nilai Pancasila harus kembali ditegakkan.
Sekretaris Utama BPIP Tonny Agung Arifiantoi menggarisbawahi pembentukan Mahkamah Etika sebagai solusi yang diharapkan dapat sejalan dengan prinsip etika Kant merupakan sesuatu yang penting. Di mana, pejabat negara diharapkan bertindak dengan integritas dan keadilan yang tinggi.
BPIP ingin memastikan prinsip-prinsip Pancasila bisa kembali menguat dan diterapkan dalam seluruh aspek pemerintahan dan kehidupan berbangsa.
Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, masalah kerapuhan etika telah menjadi persoalan yang berlarut-larut di Indonesia. Bahkan, telah ada sejak masa Orde Baru.
Kelemahan etika, kata Mahfud, telah membuka jalan bagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kendati, era reformasi diharapkan membawa perubahan melalui TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
"Terjadi flexing, pamer kemewahan, suka bohong, pemborosan yang luar biasa sehingga yang terjadi tumpulnya Trisakti. Kedaulatan politik tidak secara substansi dilaksanakan, terkadang didikte juga oleh ambisi pribadi,” ujar Mahfud dalam keterangannya.
Untuk mengatasi masalah etika tersebut, salah satu langkah yang bisa dilakukan dengan memperkuat nilai-nilai Pancasila. Mahfud menjelaskan bahwa Pancasila memiliki dua fungsi utama, yakni sebagai dasar negara dan sebagai panduan di luar fungsi dasar negara.
Dalam perannya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber hukum di Indonesia. Selain itu, Pancasila juga berfungsi sebagai pemersatu bangsa, panduan hidup, dan pedoman moral bangsa.
"Fungsi Pancasila selain dasar negara ini adalah nilai moral dan etik. Daya ikatnya adalah kesadaran moral, takut, risih sehingga sanksinya otonom. Yang terjadi saat ini, orang hanya takut pada Pancasila sebagai dasar negara, sehingga bisa diubah sewaktu-waktu oleh penyelenggara negara,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia itu.
Lain hal dengan Budayawan Garin Nugroho yang menyoroti perubahan di jagat maya atau internet. Dulu dianggap sebagai ruang publik yang demokratis, kini menjadi arena politik massa yang manipulatif.
Ia menilai ruang maya berjalan tanpa adanya panduan nilai kebangsaan. Bahkan, sekitar 80 persen anak muda Indonesia menggunakan internet, tetapi banyak yang terjebak dalam pasar politik mengutamakan keuntungan ekonomi dan kekuasaan ketimbang produktivitas.
"Perlu ada strategi etika yang jelas untuk mengatasi fenomena ini dan memastikan bahwa ruang digital dapat digunakan secara konstruktif,” ujarnya.
Selain pelanggaran etika, diskriminasi dan intoleransi masih menjadi musuh klasik bagi Pancasila.
Siti Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mendorong perlunya reformasi budaya dan undang-undang untuk mengatasi diskriminasi dan intoleransi.
Selain itu, perlunya reinterpretasi ajaran agama agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan penghargaan terhadap lingkungan, cinta kasih, hingga kesetaraan.
"Reform sejumlah undang-undang/peraturan yang ada yaitu sejumlah perundang-undangan masih ada yang diskriminatif. ICRP pernah mendata, terdapat 147 undang-undang/peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminatif dan Intoleran,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Pancasila harus kembali diposisikan sebagai ideologi yang berakar pada kesadaran historis. Pancasila lahir dari berbagai aliran pemikiran, termasuk islamisme, nasionalisme, humanisme, demokrasi, dan marxisme.
Dengan memahami latar belakang historis Pancasila, Usman menegaskan, demokratisasi di Indonesia harus melayani kepentingan rakyat, bukan hanya segelintir elit.
"Sistem hubungan kekuasaan cenderung oligarki, terbukti pada masa Orde Baru tidak menguntungkan bagi kepentingan masyarakat, hanya memunculkan ketimpangan sosial,” pungkasnya.
(Khafid Mardiyansyah)