Konsultasi, pendampingan, dan pemberian nutrisi yang tepat juga perlu diberikan kepada ibu hamil dan menyusui. Dalam kaitan tersebut, Budi yang juga guru besar Universitas Diponegoro, menyarankan Pemerintah Daerah untuk memanfaatkan data keluarga (Sistem Informasi Keluarga/SIGA) yang dimiliki Kemendukbangga agar intervensi dapat dilakukan secara efektif.
SIGA sendiri adalah merupakan satu sistem terintegrasi dengan memperhatikan standar data dan metadata dengan tingkat detail berupa level by name by address atau data berdasarkan nama dan alamat riil keluarga di seluruh wilayah Indonesia.
“Kita setiap tahun melaksanakan pendataan keluarga, yang menghimpun data terkait pasangan usia subur (PUS), status kehamilan, anggota keluarga balita, pendidikan anggota keluarga, keadaan rumah hunian, perceraian (status keluarga), akses air minum, sanitasi, tingkat kesejahteraan, pemenuhan gizi, kepesertaan KB, dan sebagainya” kata Budi.
Data tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan Keluarga Beresiko Stunting (KRS) yang bisa dipakai sebagai basis intervensi. Pada pendataan 2024 teridentifikasi adanya Keluarga Beresiko Stunting sebanyak 8.682.170 keluarga dan tersebar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
“Kepala Daerah, yakni gubernur, bupati, dan walikota dapat memfokuskan intervensi pencegahan stunting pada KRS tersebut di wilayah masing-masing, dengan data yang konkret sehingga presisi keberhasilan penanganan penurunan prevelensi stunting akan tinggi,” pungkas Budi.
Kemendukbangga/BKKBN sendiri memiliki program penurunan stunting bernama “Genting” (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting) yang menggerakkan semangat gotong royong masyarakat untuk mencegah stunting. Gerakan tersebut mendesain intervensi berupa pemberian nutirisi, perbaikan sanitasi dan air bersih, serta edukasi.
Pemerintah Daerah bisa berkoordinasi dengan menghubungi kantor perwakilan BKKBN masing-masing untuk mensinergikan kebijakan pencegahan stunting. Dengan demikian, diharapkan tidak ditemukan kasus baru stunting yang muncul di daerah.
(Arief Setyadi )