Setelah ia dewasa, pada tahun 1643 Sultan Agung mengawinkan putra mahkota dengan seorang putri Pangeran Pekik, putra penguasa Surabaya yang berhasil ditaklukkan oleh Mataram. Konon ini mungkin sekali bukan anak perkawinannya dengan adik perempuan Sultan Agung, Ratu Pandansari. Dengan cara demikian terjadilah ikatan antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Surabaya.
Anak pertama dari perkawinan ini meninggal dalam usia muda, anak yang kedua kemudian menjadi Sunan Mangkurat II. Empat puluh hari setelah melahirkan anak itu, ibunya meninggal.
Pada tahun 1637, putra mahkota menjadi pusat suatu komplotan intrik Istana yang gawat. Tumenggung Danupaya dan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang pada tahun 1629 turut menyerang Belanda di Batavia, terlibat dalam komplotan itu.