JAKARTA - Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) bakal menggelar aksi damai dalam memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei 2025. KSBSI memastikan aksi tersebut bakal berjalan dengan tetap menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kendati, aksi tersebut akan menyuarakan berbagai persoalan buruh, seperti upah yang belum layak, waktu kerja yang bermasalah, hingga pelanggaran hak-hak pekerja.
"Kami aksi damai, tetap kita harus damai, enggak boleh enggak. Kita ini kan perayaan, walaupun menyuarakan jam kerja bermasalah, upah bermasalah, hak-hak buruh bermasalah, kita tetap damai," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KSBSI, Dedi Hardianto dalam keterangannya, Kamis (24/4/2025).
Ia menjelaskan, KSBSI akan mengerahkan massa sekitar 1.500 hingga 2.000 orang, sesuai dengan hasil konsolidasi sebulan lalu. Namun, hingga kini belum diputuskan apakah mereka akan bergabung dengan aliansi buruh lain atau memilih titik kumpul sendiri.
Lokasi seperti Gelora Bung Karno (GBK) masih menjadi opsi, sementara aksi longmarch dari kawasan Patung Kuda juga tengah dipertimbangkan. "Belum komunikasi, masih tipis-tipis saja. Tapi pasti kita turun ke jalan," imbuhnya.
Hari ini, KSBSI juga akan mengadakan rapat lanjutan untuk memfinalisasi teknis aksi dan titik kumpul saat aksi May Day 2025, apakah akan sesuai dengan rencana sebelumnya atau bergeser ke lokasi baru.
Dedi juga memaparkan sejumlah isu utama yang akan diangkat dalam aksi May Day kali ini. Salah satunya adalah pengawalan terhadap pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2023 yang menyatakan perlunya regulasi baru di sektor ketenagakerjaan.
Selain itu, KSBSI secara tegas menolak penerapan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Mengingat gugatan tentang Tapera juga tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Lalu soal stop PHK, soal penyiapan lapangan pekerjaan oleh pemerintah, dan juga yang masih agak sulit kita juga berharap ada perlindungan tenaga kerja. Gak boleh ada PHK-PHK, karena ayatnya banyak, perusahaan juga begitu walaupun situasinya sulit. Yang kita coba hidupkan kembali adalah 151 UU 13 terkait perlindungan tenaga kerja," katanya.
Kemudian, soal dana pensiun, karena pekerja yang terkena PHK tidak mendapatkan pensiun. "Kita juga mau UU Ketenagakerjaan itu DPLK. Karena kan dana pensiun sudah dianggarkan perusahaan. Kalau dia bermasalah ya jangan juga buruh jadi masalah soal pesangonnya," ujarnya.
Meski menyuarakan banyak kritik, Dedi menegaskan KSBSI tetap mendukung kebijakan pemerintah Prabowo Subianto. Ia berharap pemerintah membuka ruang dialog kaum pekerja dalam pembuatan undang-undang.
"Yang pemerintah lakukan jika baik tentu KSBSI akan mendukung. Dan di periode ini kita berharap pemerintah kan mumpung sekarang zamannya kolaboratif, zamannya kerja sama, kita ingin pemerintah membuka ruang untuk kaum pekerja menyampaikan dalam membuat UU. Jangan membuat UU seperti UU Cipta Kerja," katanya.
Pemerintah dan semua elemen harus duduk bersama membahas hal fundamental soal perlindungan maupun upah tenaga kerja. "Kalau negara kita dukung lah. Sepanjang kebijakan pemerintah bagus maka kita akan mendukung kebijakan tersebut," katanya.
(Arief Setyadi )