Alat ini ditujukan bagi kelompok yang memiliki keterbatasan fisik, penyandang disabilitas, maupun tokoh agama seperti biksu senior yang memiliki keterbatasan dalam menjangkau bagian atas situs.
"Chairlift ini adalah sarana inklusif. Banyak situs warisan dunia telah menggunakan fasilitas serupa. Di Akropolis, Pantheon di Yunani, Sistine Chapel, hingga Tembok Cina, semuanya sudah memanfaatkan teknologi yang serupa dan terbukti tidak merusak situs," katanya.
Ia juga menekankan bahwa chairlift yang dirancang tidak bersifat masif dan tidak menyebabkan penetrasi atau kerusakan pada struktur cagar budaya. Instalasi bersifat non-permanen dan dapat dilepas jika tidak digunakan. Selain itu, terdapat pula rampway atau jalur landai portable dari kayu dan bantalan sebagai bagian dari solusi aksesibilitas yang sesuai dengan standar pelestarian.
"Semua langkah ini dilakukan sesuai dengan prinsip konservasi dan kaidah pelestarian cagar budaya. Tidak ada perusakan sama sekali. Ini adalah bagian dari komitmen kita untuk menjadikan Borobudur sebagai destinasi budaya yang inklusif," tuturnya.
Kementerian Kebudayaan mengimbau seluruh pihak untuk bersama-sama menjaga integritas dan kelestarian Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia dengan menyebarkan informasi yang akurat dan bertanggung jawab.
(Agustina Wulandari )