Karier Widodo tak mulus-mulus amat. Dia sempat 11 tahun menyandang pangkat kapten. Kariernya mulai meroket ketika sukses menghabisi sisa-sisa PKI di Yogyakarta. Pada 6 Juli 1968 dia dipromosikan sebagai Pangdam III/17 Agustus di Sumatera Barat. Setelah itu dia promosikan sebagai Panglima Kowilhan I/Sumatera (1973-1974), lalu Panglima Kowilhan II/Jawa, Bali & Nusa Tenggara (1974-1977).
Kariernya mencapai puncak ketika dipercaya Soeharto sebagai KSAD ke-12 (1978-1980). Namun keputusannya membentuk Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD pada 1 April 1978 menjadi jalan menuju akhir jabatannya.
Fosko, bagi Widodo, sebenarnya dimaksudkan sebagai wadah bagi para purnawirawan untuk memberi masukan ke petinggi AD. Masalahnya, forum ini menjadi tempat pensiunan vokal untuk menguliti Soeharto. Mereka mengkritik pemerintahan yang dianggap gagal menciptakan kesejahteraan. Soeharto dicap mulai sewenang-wenang.
“KSAD Jenderal Widodo membentu Fosko, sebuah lembaga yang dinilai terlalu keras mengkritik Soeharto,” kata A Pambudi dalam buku Sintong & Prabowo.
“Dalam 12 bulan, para pensiunan jenderal di Fosko telah menghasilan lima paper (tulisan ilmiah). Semuanya memperingatkan, jika pemerintah tidak melakukan perbaikan, akan terjadi kesenjangan antara rakyat dan TNI,” kata David Jenkins dalam Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983.
Tentu saja kehadiran Fosko membuat penguasa Cendana murka. Alhasil nasib Widodo di pucuk pimpinan AD tidak berlangsung lama. Hanya dua tahun saja dia menjabat KSAD, kemudian diganti Jenderal TNI Poniman. Widodo meninggal dunia pada 19 Februari 1993.
(Zen Teguh)