Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Soal Insiden Pembubaran Ibadah di Cidahu Sukabumi, DPR: Tindak Tegas Pelanggaran Intoleransi!

Achmad Al Fiqri , Jurnalis-Rabu, 02 Juli 2025 |20:59 WIB
Soal Insiden Pembubaran Ibadah di Cidahu Sukabumi, DPR: Tindak Tegas Pelanggaran Intoleransi!
Tersangka Kasus Intoleransi di Cidahu Sukabumi (foto: dok ist)
A
A
A

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Sarifudin Sudding prihatin atas insiden pembubaran ibadah umat Kristen di Sukabumi, Jawa Barat. Ia menegaskan, negara tidak boleh kalah oleh tekanan kelompok mana pun dalam menjamin hak konstitusional warganya untuk beribadah.

“Ini bukan semata soal disharmoni sosial, ini menyangkut soal kepastian hukum dan keberanian negara dalam melindungi hak asasi rakyatnya. Perlu kembali ditegaskan bagi semua pihak, beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara,” kata Sudding, Rabu (2/7/2025). 

Seperti diketahui, rumah singgah atau vila di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat, dirusak sejumlah warga saat sekelompok anak dan remaja beragama Kristen tengah menjalani retret pada Jumat 27 Juni 2025. Video aksi pembubaran ibadah umat kristiani itu lantas viral di media sosial. 

Sudding pun mengingatkan, sikap intoleransi sangat bertentangan dengan prinsip negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila, apalagi dibarengi dengan perbuatan pidana seperti pengrusakan fasilitas pribadi hingga ancaman dan intimidasi.

“Ketika ibadah yang sah dibubarkan oleh tekanan kelompok, maka yang tercederai bukan hanya minoritas agama, tapi prinsip keadilan dan supremasi hukum itu sendiri,” tuturnya.

Adapun akibat perbuatan intoleran itu, rumah yang diketahui milik Maria Veronica Ninna di Desa Tangkil tersebut pun mengalami kerusakan. Mulai dari kaca jendela di hampir seluruh ruangan, pot bunga di taman dan di depan rumah, dua unit gazebo di pekarangan belakang rumah, kamar mandi di bagian belakang rumah, pintu gerbang rumah, hingga satu unit motor yang didorong warga ke sungai.

 

Peristiwa ini juga menyebabkan anak-anak dan remaja peserta retret yang berasal dari gereja di Tangerang Selatan mengalami trauma. Meski demikian, pihak gereja memilih untuk menghormati proses hukum yang tengah berjalan sehingga menolak berkomentar lebih lanjut.

Sudding meminta agar Pemerintah memfasilitasi anak-anak dan remaja peserta retret, terutama yang mengalami trauma akibat melihat aksi kekerasan dan anarkisme.

“Pastikan anak-anak yang menjadi korban kekerasan mental ini mendapat perlindungan dari Negara. Jika diperlukan, berikan fasilitas trauma healing,” ujar Sudding. 

Peristiwa intoleransi di Sukabumi ini sendiri bermula ketika anak-anak dan remaja dari gereja di Tangsel datang ke vila untuk mengikuti retret saat libur sekolah. Kegiatan yang dilakukan berupa program reflektif yang juga dikemas melalui permainan.

Namun tiba-tiba, sejumlah warga datang dan membubarkan paksa acara tersebut dengan alasan rumah singgah atau vila itu tidak memiliki izin sebagai tempat ibadah. Pembubaran juga disertai pengrusakan dan intimidasi.

Sudding menekankan bahwa hak atas kebebasan beragama dan beribadah dijamin oleh UUD 1945 dan tidak bisa dibatalkan oleh opini mayoritas atau tekanan lokal.

“Pembubaran ibadah yang tidak didasarkan pada putusan hukum atau alasan yang sah secara administratif harus dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana,” jelas Sudding.

 

“Termasuk pasal-pasal terkait perbuatan tidak menyenangkan, ujaran kebencian, atau diskriminasi berbasis agama,” sambungnya.

Kendati demikian, Sudding meminta aparat oenwgak hukum untuk mengusut tuntas dan menindak pelaku intoleran tersebut.

"Usut tuntas dan tindak tegas pelanggaran akibat intoleransi agar kejadian seperti ini tidak berulang dan menjadi preseden buruk ke depan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan harmoni kehidupan bermasyarakat di Indonesia,” sebut Sudding. 

Sudding juga meminta aparat penegak hukum dan pihak berwenang lainnya untuk berani bersikap tegas terhadap bentuk intoleransi, termasuk perbuatan anarkisme berbasis SARA.

“Jika aparat membiarkan intimidasi atas nama tradisi atau keharmonisan lokal, maka itu sama dengan membiarkan hukum tunduk pada tekanan non-negara. Padahal tugas negara adalah menjamin perlindungan setara bagi semua warga, bukan hanya yang mayoritas,” paparnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement