Dengan bergabungnya penduduk ke dalam barisan mereka, para prajurit semakin bersemangat. Setelah pasukan yang dipimpin Bana, disusul kemudian pasukan Arih-Arih. Pasukan ini telah tiga tahun bergerilya dan dikenal sangat menguasai medan belantara.
Dari arah lain, muncul pula pasukan di bawah pimpinan Mundrayana. Pasukan ini terdiri atas bekas budak. Karenanya, pasukan Mundrayana juga dikenal sangat garang karena mereka memendam dendam besar terhadap Tunggul Ametung yang selama bertahun-tahun memperbudak mereka.
Saat pasukan Mundrayana hendak masuk ke ibu kota, mereka dihadang oleh prajurit Tumapel. Melihat hadangan tersebut, semangat perang mereka langsung menggelora, dan para bekas budak ini langsung melayangkan senjatanya ke arah prajurit Tumapel.
Akhirnya, para prajurit Tumapel kocar-kacir dan lari tunggang langgang. Hari menjelang tumbangnya Tunggul Ametung pun menjadi mencekam dan penuh ketegangan di Kutaraja.
Laskar rakyat yang bergabung dengan penduduk Tumapel bersama-sama bergerak dan bersorak-sorai mengepung Pakuwuan untuk mendukung Ken Arok menumbangkan Tunggul Ametung. Masyarakat sangat bersemangat berarak ke Pakuwuan untuk menyaksikan akhir dari kekuasaan Tunggul Ametung yang saat itu benar-benar berada di tepi jurang kehancuran.
(Awaludin)