Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Hukum Tawan Karang, Aturan Kerajaan Bali yang Bikin Kolonial Belanda Murka

Avirista Midaada , Jurnalis-Sabtu, 09 Agustus 2025 |10:00 WIB
Hukum Tawan Karang, Aturan Kerajaan Bali yang Bikin Kolonial Belanda Murka
Illustrasi perang kerajaan (foto: dok ist)
A
A
A

PASUKAN Belanda mencoba melakukan konfrontasi dan menuntut penghapusan hukum tawan karang. Hukum tawan karang adalah hak dari kerajaan-kerajaan di Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya. Hukum ini juga menimpa kapal-kapal Belanda, sebagaimana terjadi pada tahun 1841 di pantai wilayah Badung.

Memang Raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang. Namun, perjanjian itu tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844, di Pantai Prancak dan Sangsit, terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang terdampar.

Cekcok kemudian terjadi antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan Belanda. Raja-raja Bali, sebagaimana dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, dituntut untuk menghapuskan hak tawan karang tersebut.

Pada tahun 1845, Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan hukum tawan karang yang diajukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, Belanda juga menuntut agar Raja Buleleng melaksanakan isi perjanjian yang dibuat pada tahun 1841 dan 1843, yaitu mengganti kerugian atas kapal-kapal Belanda yang dirampas.

 

Tuntutan Belanda agar Kerajaan Buleleng menerima kekuasaan Hindia Belanda menimbulkan kegelisahan bagi sang raja. Patih Buleleng, Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas mengatakan bahwa tuntutan tersebut tidak mungkin diterima. Gusti Jelantik, yang terkenal sangat menentang Belanda, mengetahui risiko yang akan timbul dari penolakan itu.

Ia segera menghimpun pasukan, menggiatkan latihan perang, serta menambah perlengkapan dan persenjataan guna menghadapi kemungkinan serangan. Sikap keras Buleleng mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan ultimatum pada 24 Juni 1846, yang berlaku selama 3 × 24 jam.

Isi ultimatum tersebut antara lain: Raja Buleleng harus mengakui kekuasaan Belanda, menghapuskan hak tawan karang, dan memberi perlindungan terhadap perdagangan Hindia Belanda. Batas waktu ultimatum sampai 27 Juni 1846 tidak dapat dipenuhi oleh Raja Buleleng.

Raja Buleleng meminta waktu sekitar 10 hari untuk memikirkan masalah tersebut. Gusti Jelantik, yang diutus untuk merundingkan hal itu dengan Dewa Agung dari Klungkung, menyatakan tetap menentang tuntutan Belanda. Selain Raja Buleleng, Kerajaan Karangasem juga menyatakan sikap menentang pemerintah Hindia Belanda.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement