Proses perdagangan permata ilegal ini sangat sistematis, dengan warga negara China masuk ke Sri Lanka sebagai turis, lalu membeli permata berharga dari perantara ilegal guna menghindari dokumen, pajak, maupun jalur hukum. Akibatnya, sektor permata formal Kolombo mengalami kerugian ekonomi yang sangat besar. Keterlibatan ilegal China dalam industri permata menggerus pendapatan ekonomi yang seharusnya dialokasikan ke perekonomian lokal.
Bagi negara yang sedang berjuang pulih dari krisis ekonomi terburuk yang pernah dialami, aktivitas ilegal ini mengakibatkan kerugian pendapatan devisa dan pajak yang signifikan. Diperkirakan, PPN tahunan sebesar SLR38 miliar (sekitar Rp2,06 triliun) telah hilang akibat transaksi informal dan tidak kena pajak. Dua tahun lalu, Komite Penasihat Dewan Pengembangan Ekspor (EDB) untuk sektor Permata, Berlian, dan Perhiasan telah menyoroti bahaya pembeli ilegal yang masuk ke perdagangan permata di Sri Lanka.
Aktivitas ekstraktif seperti ini telah memunculkan dua pukulan bagi perekonomian: di tingkat domestik dan internasional. Pertama, ekonomi paralel beroperasi dengan pembayaran tunai langsung guna menghindari pajak PPN dan pengawasan otoritas regulator. Akibatnya, masyarakat lokal menanggung beban karena pedagang tradisional yang teregulasi diabaikan dalam proses ini. Dengan demikian, ekonomi perdagangan paralel ilegal menyebabkan persaingan tidak adil bagi pedagang sah, yang akhirnya tertinggal. Hal ini memperburuk ketimpangan dan kemiskinan di daerah seperti Ratnapura dan Beruwala, yang merupakan sentra permata tradisional.
Kedua, pasar permata juga mengalami kerugian di pasar Barat. Pembeli Eropa dan Amerika kini cenderung memilih pusat seperti Thailand, akibat reputasi Kolombo yang tercoreng. Ekonomi paralel ini juga terkait dengan pencucian uang, melalui sistem keuangan informal seperti hawala, yang berpotensi menyalahgunakan dana dalam skala besar.