Khozin menjelaskan, kenaikan PBB-P2 juga merupakan imbas dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD). Dalam Pasal 41 ayat (2) UU tersebut, batas maksimum tarif PBB-P2 dinaikkan dari 0,3% menjadi 0,5%.
“Pemda memiliki ruang lebih besar untuk menaikkan tarif jika dipandang perlu,” jelasnya.
UU HKPD juga mengatur Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yakni minimal 20% hingga maksimal 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak (Pasal 40 ayat 5).
“Pemda dapat menaikkan persentase pengenaan NJKP lebih luas. Imbasnya, kenaikan PBB-P2 lebih tinggi secara nominal,” terangnya.
Lebih jauh, Khozin menyebut, kenaikan PBB-P2 menjadi motivasi bagi pemda karena terkait dengan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat. Komposisi DBH ditentukan 90% berdasarkan proporsi bagi hasil dan status daerah penghasil, serta 10% berdasarkan kinerja pemda (Pasal 120 UU HKPD).
“Kalau penerimaan daerah meningkat, termasuk dari PBB-P2, maka potensi memperoleh DBH lebih besar di tahun berikutnya. Ini insentif dari pusat, tapi dengan catatan kinerja daerah baik,” kata Khozin.