GIANYAR – Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bekerja sama dengan Neka Art Museum, menyelenggarakan rangkaian kegiatan bertajuk “Harmoni Pemajuan Kebudayaan” di Neka Art Museum, Ubud, Gianyar, Bali pada Senin (1/9/2025).
Kegiatan ini menjadi ruang temu antara ekspresi seni rupa, literasi budaya, kearifan masyarakat adat, serta tradisi kuliner, sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi pemajuan kebudayaan nasional. Terdapat empat agenda utama, yakni Pameran Seni Rupa Keris “Vibrant Colors”, Peluncuran Buku Taksu Keris Bali, Sarasehan Masyarakat Adat, serta pengalaman gastronomi adat melalui Kuliner Cara Puri.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, hadir langsung dalam rangkaian acara tersebut. Dalam sambutannya, Menbud Fadli menegaskan bahwa kebudayaan merupakan kekuatan pemersatu bangsa yang harus terus dijaga dan dikembangkan, bahkan di tengah situasi sosial-politik yang penuh tantangan.
“Budaya justru menyatukan. Karena itu, 'life goes on dan culture must goes on'; hidup harus terus berjalan, dan budaya juga harus terus berlanjut,” ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya membangun literasi budaya, salah satu momen penting dalam kegiatan ini adalah peluncuran buku Taksu Keris Bali, yang ditulis Menbud Fadli bersama Staf Khusus Menteri Bidang Sejarah dan Pelindungan Warisan Budaya, Basuki Teguh Yuwono.
Buku ini membahas keris bukan hanya sebagai objek budaya, melainkan sebagai manifestasi nilai, keyakinan, dan kekuatan spiritual dalam masyarakat Bali. Menbud Fadli menegaskan pentingnya penguatan literasi budaya melalui penerbitan karya tulis yang mendalam dan kontekstual, khususnya yang dapat menjangkau generasi muda.
Tidak hanya mendeskripsikan keris, tetapi menyingkap makna yang tersembunyi di balik bentuknya, mulai dari proses penciptaan, tuah, hingga peran keris dalam kehidupan spiritual.
Dibuka dengan pertunjukan Tari Pendet sebagai simbol penyambutan, peluncuran buku Taksu Keris Bali juga sekaligus menjadi pembuka Pameran Seni Rupa Keris “Vibrant Colors”, menampilkan karya-karya seni rupa kontemporer yang terinspirasi dari filosofi dan keindahan keris sebagai warisan budaya dunia.
Dalam kesempatan ini, Menbud Fadli menggarisbawahi pentingnya warisan budaya Bali dalam memperkenalkan Indonesia di mata dunia. Tari-tarian, seni rupa, hingga keris Bali telah lama menjadi simbol diplomasi budaya. Bahkan, menurut Menbud Fadli, Presiden Prabowo Subianto kerap menghadiahkan keris Bali kepada para pemimpin dunia sebagai bentuk penghargaan dan simbol persahabatan.
“Keris Bali memiliki nilai artistik yang luar biasa. Sebagai warisan budaya tak benda yang telah diakui UNESCO, keris tidak hanya menjadi karya seni, tetapi juga mengandung filosofi dan taksu yang dalam,” tuturnya.
Selain itu, dalam rangka penguatan organisasi dan struktur kelembagaan pelaku perkerisan di Indonesia, Menbud Fadli dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI), turut melantik Koordinator Wilayah SNKI Provinsi Bali.
Pelantikan ini merupakan bagian dari langkah strategis SNKI dalam membangun sistem kelembagaan yang inklusif dan merata di seluruh daerah, seiring dengan pertumbuhan organisasi yang saat ini telah menghimpun lebih dari 220 paguyuban keris dari seluruh Indonesia.
Lebih lanjut, kegiatan tersebut juga menjadi ruang refleksi atas pentingnya peran masyarakat adat dalam merawat warisan budaya. Melalui Sarasehan Masyarakat Adat yang melibatkan perwakilan komunitas dari berbagai wilayah di Bali, disampaikan beragam aspirasi dan pengalaman terkait keberlangsungan adat istiadat serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga hak-hak kultural mereka.
Menbud Fadli menekankan peran masyarakat adat sebagai garda terdepan dalam pelestarian budaya. Aspirasi yang disampaikan melalui sarasehan masyarakat adat akan terus diperjuangkan, termasuk dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Kekayaan budaya Bali juga dihadirkan dalam bentuk yang lebih filosofis melalui pengalaman gastronomi adat bertajuk Kuliner Cara Puri. Tradisi makan ala puri ini menampilkan bukan hanya kelezatan cita rasa, tetapi juga tata krama, nilai spiritual, dan makna simbolik yang terkandung dalam penyajian makanan.
Hidangan-hidangan khas yang disajikan merupakan hasil resep turun-temurun, diolah dengan bahan-bahan lokal, dan memiliki makna simbolis masing-masing.
Selain sajian makanan, tata cara penyajian Cara Puri juga memperlihatkan nilai estetika dan etika. Penyajian dilakukan secara berurutan dengan struktur tertentu, disertai doa dan penghormatan kepada leluhur.
Tradisi ini menjadi ruang dialog antar generasi, memperlihatkan bahwa kuliner bukan sekadar pemenuhan jasmani, tetapi juga sarana menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Menbud Fadli menegaskan bahwa kuliner adat seperti Cara Puri adalah bagian penting dari pemajuan kebudayaan.
Beberapa tokoh dan pejabat hadir dalam acara “Harmoni Pemajuan Kebudayaan”, di antaranya para penglingsir puri di Bali; Ketua DPRD Provinsi Bali, Dewa Made Mahayadnya; Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI), Putu Supatma Rudana; Direktur Neka Art Museum, Pande Made Kardi Suteja; Kurator Pameran Seni Rupa Keris, Mikke Susanto; dan Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan, Restu Gunawan.
Kemudian, hadir pula Sekretaris Direktorat Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Wawan Yogaswara; Direktur Bina Kepercayaan dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi; Direktur Warisan Budaya, I Made Dharma Suteja; Direktur Eksekutif Museum dan Cagar Budaya, Indira Esti Nurjadin; Keluarga besar SNKI Korwil Bali; tokoh agama; akademisi; serta budayawan.
Rangkaian kegiatan “Harmoni Pemajuan Kebudayaan” di Neka Art Museum menjadi penegasan bahwa budaya Indonesia adalah suatu kesatuan yang hidup, yang tidak hanya tersimpan dalam arsip atau museum, tetapi dijalankan, dirasakan, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Harmoni Pemajuan Kebudayaan menjadi bagian dari konferensi budaya tingkat internasional Culture, Heritage, Arts, Narratives, Diplomacy, and Innovations (CHANDI) 2025 yang akan dihelat 3–5 September 2025 di The Meru Sanur, Bali.
Melalui kegiatan ini, Kementerian Kebudayaan menunjukkan bahwa pemajuan kebudayaan bukan semata tanggung jawab pemerintah saja, melainkan gerakan bersama yang membutuhkan partisipasi aktif dari seniman, akademisi, pelaku adat, dan masyarakat luas.
Di tengah arus globalisasi dan perubahan zaman, harmoni semacam inilah yang memperkuat jati diri bangsa dan memastikan bahwa warisan budaya terus relevan dan berdaya guna bagi generasi kini dan mendatang.
(Agustina Wulandari )