“Kita juga kekurangan literatur mengenai keris Sumbawa, padahal karakteristiknya sangat berbeda dengan keris Lombok. Ini merupakan peluang riset dan publikasi yang perlu segera ditangkap,” tuturnya.
Sejumlah empu dari Lombok Timur, Sakra, dan Bayan turut menyampaikan pandangan mereka terkait karakteristik lokal keris Lombok yang terbentuk dari hasil akulturasi budaya Bali, Sumbawa, dan Jawa.
Selain keris, isu manuskrip tradisional juga mendapat sorotan. Sejumlah tokoh mencatat adanya kekosongan narasi sejarah Lombok, terutama periode pra-penjajahan, yang perlu dilengkapi melalui riset dan transliterasi naskah-naskah yang kini masih tersimpan di museum maupun komunitas adat.
“Saat kunjungan ke museum provinsi, saya juga meninjau langsung penyimpanan manuskrip lontar. Koleksi manuskrip ini sangat banyak, mencapai sekitar 1.800 naskah,” ujar Fadli.
Ia menyampaikan pentingnya untuk membuat katalog manuskrip dan klasifikasinya menurut isi: pengobatan, ajaran, hukum, sastra, dan sebagainya. “Ini menjadi peluang besar bagi riset mahasiswa, dosen, maupun peneliti. Saya yakin dari sini bisa lahir skripsi, tesis, bahkan disertasi yang sangat bernilai,” tuturnya.
Fadli melanjutkan, sebagian manuskrip penting nasional seperti Negarakertagama yang dibawa dari Belanda ternyata berasal dari Lombok. Meski berupa salinan, hal ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Lombok dalam sejarah intelektual Nusantara.