Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

KUHAP Baru Dinilai Berisiko Langgar HAM, Komnas HAM Soroti 5 Pasal Bermasalah

Achmad Al Fiqri , Jurnalis-Minggu, 23 November 2025 |08:57 WIB
KUHAP Baru Dinilai Berisiko Langgar HAM, Komnas HAM Soroti 5 Pasal Bermasalah
KUHP (foto: freepik)
A
A
A

JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap lima ketentuan berpotensi melanggar HAM dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan DPR RI pada Selasa, 18 November 2025. Potensi pelanggaran itu ditemukan setelah Komnas HAM melakukan kajian terhadap draf RKUHAP terbaru.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan pihaknya telah melakukan kajian atas RKUHAP tahun 2023 dan 2025. Ia pun mengingatkan adanya potensi pelanggaran HAM pasca-disahkannya KUHAP baru. Pertama, ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan.

“Ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan, termasuk kewenangan penggunaan upaya paksa, harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme pengawasan yang ketat, baik internal maupun eksternal, untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran HAM, khususnya terhadap saksi, tersangka, dan/atau korban,” kata Anis, Minggu (23/11/2025).

Kedua, kata Anis, adalah ketentuan terkait penggunaan upaya paksa, baik penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penggeledahan, pemeriksaan, maupun penyadapan. Menurutnya, kewenangan ini harus digunakan secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur.

“Serta dibuka peluang kepada pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik kepada institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan,” ucap Anis.

 

Ketiga, lanjut Anis, mekanisme praperadilan saat ini hanya memeriksa aspek formil atau administrasi, bukan aspek materiil. Padahal, kata dia, aspek materiil adalah yang paling banyak disorot dalam penegakan hukum.

“Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP belum mencerminkan keresahan publik bahwa mekanisme ini belum mampu secara efektif mengatasi kelemahan penegakan hukum,” kata Anis.

“Misalnya ketika terjadi intimidasi, kekerasan, dan penyiksaan dalam pemeriksaan atau upaya paksa, hal itu tidak menjadi pertimbangan hakim praperadilan. Mekanisme praperadilan tidak mampu mengontrol kualitas penegakan hukum,” tambahnya.

Keempat, perubahan ketentuan alat bukti dalam KUHAP terdiri atas Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Keterangan Terdakwa, Barang Bukti, Bukti Elektronik, hingga Segala Sesuatu yang Diperoleh secara Legal. Namun, ia menilai frasa “segala sesuatu” bermakna luas dan multitafsir.

“Berisiko menimbulkan penyalahgunaan bukti ilegal, misalnya hasil penyadapan tidak sah. Perlu penegasan sanksi untuk bukti dari penyiksaan atau penyadapan ilegal,” katanya.

 

Menurutnya, KUHAP juga perlu membuka kemungkinan pembentukan mekanisme pengujian admisibilitas terhadap alat bukti tersebut. Hal ini untuk memastikan bahwa alat bukti diperoleh dengan cara-cara yang layak, patut, dan tidak melanggar hukum maupun kesusilaan.

“Terakhir, KUHAP tidak mencantumkan ketentuan tegas terkait konsep koneksitas untuk menjembatani perkara pidana yang melibatkan anggota militer dan sipil secara bersama-sama. Koneksitas diperlukan untuk mengatur yurisdiksi (peradilan umum vs peradilan militer) berdasarkan ‘titik berat kerugian’,” ujar Anis.

“Makna dari ‘titik berat kerugian’ sebagai dasar menentukan apakah suatu perkara akan diadili di peradilan umum atau militer harus diperjelas, serta perlu adanya transparansi lebih besar dalam penanganan perkara sipil–militer,” pungkasnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement