JAKARTA - Aksi penghadangan terhadap rombongan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekjen Edhie Baskoro (Ibas) di Ternate, Maluku Utara dianggap sebagai riak kecil di tengah gelombang besar. Peristiwa itu dianggap tak perlu dibesar-besarkan.
"Kalau kata Bung Karno, itu adalah riak kecil di tengah gelombang. Itu dinamika," kata Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM Partai Demokrat, Rahlan Nashidik, usai acara diskusi Polemik Sindo Radio, di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2012).
Hal itu lanjut Nashidik, bisa terjadi karena ada kepimpinan di daerah yang dianggap tidak kompatibel dengan visi dan misi DPP yang kemudian melakukan perlawanan itu. "Sehingga DPP tidak bisa melakukan Musda di sana, Tapi itu sekali lagi dinamika," jelasnya.
Menurutnya, kasus seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Dia bahkan membedakan kasus-kasus bermuatan politis yang terjadi pada rentang waktu 1980-1990 di mana dinamika politik bisa berakhir hingga kepada aksi penculikan.
"Itu tidak ada bandingannya dengan teman-teman waktu tahun 80 dan 90, mereka diculik, dibunuh. Kalau ini kan soal kecil. Soal DPP yang ditentang oleh kekuatan-kekuatan internal partai yang ingin mempertahankan status quo. Dan itu terjadi pada partai lain itu juga terjadi. Jadi enggak usah digede-gedein yang begitu-begituan," jelasnya.
Seperti diketahui, Anas dan Ibas nyaris menjadi sasaran amuk massa pendukung Ketua DPD Partai Demokrat Malut yang juga Gubernur Malut, Thaib Armaiyn.
Jhony Allen dan dua pengurus DPP Partai Demokrat bernama Ibrahim dan Syarif menjadi korban pemukulan. Rombongan DPP akhirnya melanjutkan kegiatan partai di Kota Manado bersama kader dan pengurus daerah.
(Rizka Diputra)