JAKARTA - Praktisi hukum Taufik Basari mengajukan gugatan uji materi Pasal 197 (1) KUHAP ke Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (29/4/2013). Dia mengatakan tujuan dari permohonan ini guna memberikan kesempatan pada MK untuk menjelaskan tafsir yang sebenarnya dari pasal tersebut.
"Subtansi dari permohonan yang saya ajukan ini, terkait dengan istilah 'ditahan' dan 'tahanan' yang dalam pasal 197 (1) k KUHAP, apa yang saya mintakan kepada MK, saya ingin MK dapat menjelaskan apa yang dimaksud secara khusus kata 'ditahan' dan 'tahanan' dalam pasal tersebut," katanya saat ditemui di gedung MK, Jakarta Pusat.
Hal itu perlu diajukan karena menurut pemahamannya, yang namanya ditahan dan tahanan itu terkait dengan istilah penahanan di KUHAP yang dimaknai tindakan untuk melakukan penahanan yang dilakukan guna pemeriksaan perkara dalam arti ketika proses hukum yang sedang berjalan. Sedangkan, bila sudah menjadi putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka namanya bukan lagi penahanan tapi pemidanaan.
"Nah inilah dari beberapa pihak termasuk Yusril Ihza Mahendra mengatakan sepertinya salah kaprah dalam hal memahami istilah penahanan ini," tukasnya.
Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin Riduansyah, dia dulu pernah mengajukan uji materi pasal tersebut ke MK namun ditolak. Kini, Yusril juga bertindak sebagai pengacara Susno Duadji. Untuk itu, sambung, Taufik pada putusan MK sebelumnya No 69 PUU nomor 10 tahun 2012 menyebutkan menolak permohonan Pasal 197 (1) k lalu mengadili sendiri dengan menyatakan pasal 197 (2) k, itu inkonstitusional dan sudah memiliki kekuatan mengikat.
"Maka keputusan MK tidak berlaku surut, kemudian beberapa pihak termasuk Yusril mengartikan putusan yang dialami seperti Pak Susno itu menjadi batal demi hukum. Karena putusan yang seperti itu menjadi batal demi hukum berdasar putusan MK No 69 PUU nomer 10 tahun 2012 itu," tuturnya.
Untuk itu, pihaknya mengaku perlu meluruskan kepada MK, karena dalam putusan MK no 69 itu, menolak permohonan yang diajukan oleh Parlin dan Yusril, artinya menolak petitum yang diajukan oleh pemohon, petitum dari pemohon adalah agar MK menafsirkan pasal 197 (1) k, bahwa pasal tersebut berlaku mandatoris dan interaktif untuk semua putusan ditingkatan mulai dari Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), sampai MA. Padahal semestinya pasal 197 (1) k, dibaca satu nafas dengan pasal 1 angka 21 KUHAP, pasal 21 juncto pasal 22, juncto pasal 26, juncto pasal 27, juncto pasal 28, dan pasal 193 dan pasal 242.
"Pasal tersebut menerangkan arti dari penahanan dimana dalam pasal itu disebutkan kalau penahanan itu satu proses dari persidangan guna kepentingan pemeriksaan persidangan, aritnya ketika satu keputusan sudah incracht tidak perlu lagi ada penahanan. Penahanan yang diputuskan dalam putusan atau perintah penahanan itu hanya berlaku untuk putusan PN dan PT, sementara putusan MA tidak memerlukan hal tersebut lagi, kita bisa lihat pada pasal 193 dan pasal 242," simpulnya.
Seperti diketahui, saat ini Komjen Pol (Purn) Susno Duadji selalu berdalih tidak mau ditahan atas kasus dugaan suap Rp 500 juta terkait penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan kasus pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008 yang menguntungkannya dirinya hingga Rp 4, 2 miliar karena berlindung dalam pasal tersebut.
(Muhammad Saifullah )