JAKARTA - Komnas HAM meminta masyarakat mengkritisi kinerja Densus 88 yang cenderung menembak mati terduga teroris dengan dalih membahayakan petugas. Padahal dalam beberapa peristiwa Komnas HAM justru menemukan fakta terduga ditembak mati dalam kondisi tidak berdaya.
Tindakan extra juducial killing ini selalu berulang dan sudah berkali-kali disesalkan Komnas HAM. Karena tindakan berlebihan ini melanggar HAM dan justru merugikan pengungkapan kasus yang sebenarnya.
Selain itu tindakan kejam ini akan terus menimbulkan dendam, mengalami stigmatisasi serta trauma yang mendalam sanak keluarga korban. “Padahal kan mereka belum tentu bersalah. Komnas HAM berkali-kali mengingatkan hal itu. Kita tidak membenarkan tindakan terorisme, tetapi tindakan pemberantasan terorisme harus diutamakan mengedepankan tindakan preventif serta menghormati proses hukum dan jangan asal tembak mati,” ujar Anggota Komnas HAM Siane Indriani kepada Okezone di Jakarta, Minggu (4/8/2013).
â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<
Kemarin, Komnas HAM melakukan penyelidikan ke Desa Gambiran dan Penjor Kecamatan Pagerwojo, Tulungagung, Jawa Timur, ditemani beberapa Pengurus Muhammadiyah Tulungagung.
Dalam investigasi di Tulungagung dan Lamongan beberapa hari ini, Komnas HAM menemukan adanya kejanggalan terhadap proses penembakan mati terhadap dua terduga teroris di Tulungagung pada 22 juli 2013. Komnas HAM menemukan fakta bahwa dua terduga teroris, yaitu Rizal atau Eko dan M. Hidayah atau Dayat ditembak dalam kondisi tidak berdaya dan tidak ada perlawanan.
Siane mengisahkan saat kejadian Rizal dan Dayat baru turun di sebuah halte bus dari sepeda motor dibonceng oleh Sapari dan Mugi dengan membawa dua kardus indomie berisi pakaian dan buku-buku milik Rizal. Tiba-tiba mereka diserang oleh sekitar 10 anggota Densus yang muncul dari dua mobil. Para anggota Densus tersebut langsung menghamburkan tembakan ke arah keduanya. Rizal yang telah terkena tembak dadanya sempat akan lari, tetapi langsung ditembak lagi hingga tewas di tempat.
“Sementara Dayat ditembak di kepala di teras rumah yang ada di belakang halte. Proses penyergapan hingga penembakan berlangsung hanya sekitar 7 menit, lalu kedua korban tewas diangkut ke mobil, dua lainnya (Sapari dan Mugi) diikat tangan kakinya, juga ikut dinaikkan ke mobil. Di mobil, kaki Sapari sempat merasakan ada tubuh salah satu korban tewas ditidurkan di bawah jok,” tuturnya.
â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€
Dua hari sebelum kejadian, datang Dayat yang dikenalkan sebagai temannya, hendak menjemput Rizal yang akan meneruskan studinya di Bandung. Dayat (23) yang berprofesi pedagang barang-barang online adalah pakar IT yang sempat memperoleh beasiswa dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Ia terpaksa tidak meneruskan kuliah setelah ayahnya meninggal karena tidak tega membebani biaya hidup pada ibunya yang seorang Magister Hukum, berprofesi sebagai dosen di sebuah universitas terkemuka di Medan.
Dayat selalu membawa tas berisi perangkat gadget keluaran terbaru, laptop HP icore7, android smart fren (ice cream sandwich), dan kamera digital (Nikon). Barang-barang ini hingga kini masih belum dikembalikan ke pihak keluarga. Dayat memang dikenal sebagai pemuda yang pintar dan sangat menguasai teknologi dan hobby gadget.
â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<
Menurut keterangan warga Desa Penjor, memang selama tiga bulan ini ada orang-orang yang menyamar sebagai gelandangan yang sering berada di lokasi sejak kedatangan Rizal tiga bulan ini. Belakangan warga mencurigai mereka adalah intel.
Menurut logika, jika memang sudah diintai lama, mestinya ada banyak kesempatan Densus bisa menangkap keduanya hidup-hidup dan tidak perlu menembak mati. Jika memang benar keduanya sebagaimana dicurigai, tentunya lebih menguntungkan jika ditangkap hidup. “Apalagi kan desa itu tempatnya terpencil, lokasinya berbukit-bukit. Bisa saja ditangkap selama mereka di desa itu,” ulas â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€<â€
Selain itu seharusnya mereka juga tahu peran Sapari dan Mugi yang ditangkap dan ditahan. Seharusnya jika dianggap tidak bersalah tidak perlu menunggu 7 hari untuk dilepas. Apalagi itupun karena desakan para pengurus Muhammadiyah yang menyesalkan Densus 88 salah tangkap, karena mereka tidak bersalah.
Terlebih lagi dengan peralatan canggih yang dimiliki Mabes Polri, seperti Cyber Crime Investigation Satelit Operation, tentunya bisa menyadap dan mendeteksi dimanapun mereka berada. Kalau ini dilakukan secara profesional tentu tidak perlu ada penembakan mati. Sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Densus 88 tanpa proses pengadilan.
“Komnas HAM mendesak jangan lagi ada penembakan mati, karena berbagai dalih yang selalu disampaikan ke publik seolah-olah membahayakan petugas seringkali tidak benar. Justru sebagian besar korban ditembak dalam kondisi tidak berdaya,” tandasnya.
(Muhammad Saifullah )