JAKARTA - Program bela negara yang dicanangkan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menuai kritik dari berbagai kalangan. Direktur Imparsial, Peongky Indarti menilai, dalam tataran konsepsi maupun implementasi rasa nasionalisme melalui pelatihan dasar kemiliteran merupakan pemaknaan bela negara yang sempit.
"Jangan dimaknai secara sempit berupa bentuk militerisasi sipil melalui pendidikan dan pelatihan dasar kemiliteran. Bela negara dalam konteks kekinian harus dipandang secara luas dan konprehensif," ujar Poengky kepada Okezone, Jumat (16/10/2015).
Namun, bela negara, lanjut Poengky, harus didefinisikan sebagai bentuk dan wujud partisipasi masyarakat dalam membangun bangsanya menuju negara yang lebih maju dan demokratis. Ia mencontohkan, kelompok masyarakat yang memperjuangkan pemberantasan korupsi misalnya, adalah sebuah sikap bela negara yang konkrit.
"Ada banyak contohnya, jurnalis yang menginformasikan berita untuk pencerahan publik juga merupakan wujud bela negara, dan lainnya. Itu artinya bela negara bukan merupakan militerisasi sipil tetapi merupakan bentuk partisipasi masyarakat di dalam membangun bangsanya dengan berbagai cara," imbuhnya.
Terlebih pada era pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) lalu, pernah muncul gagasan serupa. Bahkan, konsepsi tersebut tertuang ke dalam RUU Komponen Cadangan.
"Di pemerintahan SBY juga pernah mengajukan konsep komponen cadangan yang secara substansi merupakan wajib militer sebagaimana tertuang dalam RUU tentang Komponen Cadangan, tapi pada akhirnya juga menguap," pungkasnya.
(Muhammad Sabarudin Rachmat (Okezone))