JAKARTA - Konsep kebebasan bernavigasi (FON)yang terus dijalankan oleh Amerika Serikat (AS) mendapat kritik keras. Konsep tersebut dianggap dapat merugikan kepentingan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Program kebebasan navigasi dalam konteks Laut China Selatan (LCS) adalah kapal-kapal (patroli) dapat bebas melakukan navigasi dekat area perairan LCS. Dengan demikian, AS dapat bebas meluncurkan kapal perang di area tersebut. Bahkan, AS sempat menggelar kapal perang di LCS dan membuat China meradang.
Dalam acara diskusi berjudul "The Hague's South China Sea Ruling: Legal and Political Implications" Deputi Konselor Politik dari Kedubes AS di Jakarta, Aaron Jansen, dan Profesor Hukum Konstitusional dari Sekolah Hukum Maurice A. Deane, Hofstra University, AS, Julian Ku, mengatakan, penegakan kebebasan navigasi adalah suatu hal yang diperlukan. Hal ini disebabkan tidak ada satu negara yang dapat membatasi pergerakan suatu negara untuk melakukan patroli di wilayah perairan internasional khususnya di LCS.
Menanggapi hal tersebut, pakar hukum laut internasional, Hasyim Jalal melontarkan kritik keras. Menurutnya, konsep yang diketengahkan oleh kedua pembicara dapat merugikan dan bisa saja membahayakan Indonesia.
"Apa yang mereka maksud dengan kebebasan navigasi? Apakah melanggar batas perairan negara lain itu yang mereka maksud?" ujar Hasyim Jalal saat diskusi terbuka di Habibi Center, Jakarta (6/9/2016).