VATIKAN – Kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur sempat mengguncang Tahta Suci Vatikan beberapa waktu lalu. Pemimpin Tertinggi umat Katolik sedunia Paus Fransiskus meminta para uskup untuk di seluruh dunia untuk tidak menoleransi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan para pelaku diminta segera bertobat dari dosa yang mempermalukan Vatikan tersebut.
“Saya ingin kita memperbarui komitmen untuk memastikan bahwa kejahatan ini tidak akan terjadi lagi di tengah-tengah kita. Mari kita menemukan keberanian yang dibutuhkan untuk mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi anak-anak kita dalam segala hal kehidupan sehingga kejahatan tersebut tidak pernah terulang. Marilah kita mematuhi kebijakan ‘zero tolerance’,” tulis Paus Fransiskus dalam suratnya, disitat Reuters, Selasa (3/1/2017).
Sejak terpilih pada 2013, pria bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu telah mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi kekerasan seksual yang menghantui Gereja Katolik serta meningkatkan perlindungan terhadap anak-anak. Namun, sejumlah kelompok pembela korban mengatakan upaya tersebut belum cukup, mengingat masih ada beberapa uskup yang menoleransi kejahatan tersebut, bahkan menutup-nutupinya.
“Gereja mengetahui dosa-dosa yang dilakukan beberapa anggotanya: penderitaan, pengalaman dan rasa sakit anak di bawah umur korban kekerasan seksual oleh pastor. Itu adalah dosa yang membuat malu kita,” sambung Paus Fransiskus dalam surat bertanggal 28 Desember 2016 itu.
Namun, pendiri kelompok BishopAccountability.org Anne Barrett-Doyle menanggapi dingin surat tersebut. Ia bahkan menyebut kata-kata pria asal Argentina itu tidak lebih dari retorika belaka. Sebab, Sri Paus tidak mempertimbangkan bagaimana komitmen itu diterapkan. Gereja Katolik juga masih belum mengubah sistemnya untuk mewujudkan janji tersebut.
“Ia sebenarnya paham, tidak ada aturan gereja yang sepenuhnya sejalan dengan komitmen tersebut. Ungkapan tidak ada toleransi masih sebatas retorika. Fakta menyedihkan, gereja masih belum mengubah sistemnya untuk mewujudkan janji tersebut. Komitmen memang telah berlaku di Amerika Serikat, tetapi belum sepenuhnya terwujud di Eropa,” tukas Anne Barrett-Doyle.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik merebak pada 2002. Saat itu, sejumlah uskup memutasi para pelaku kekerasan seksual dari satu paroki ke paroki lainnya alih-alih diberhentikan dari jabatannya. Skandal serupa kemudian terungkap di seluruh dunia dan uang senilai puluhan juta dolar AS telah dikucurkan sebagai kompensasi bagi para korban.
(Wikanto Arungbudoyo)