Rapat kerja dua hari Departemen Kehutanan dengan Komisi IV DPR RI tanggal 18-19 November 2009 menggambarkan ada masalah besar dalam pengelolaan hutan kita Masalah pendataan menjadi masalah penting yang muncul pertama kali, dimana Dephut hanya memiliki data umum laju deforestasi hutan, itupun antara tahun 2000-2005 sebesar 1,08 Juta Ha, selain itu data identifikasi dan inventarisasi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di seluruh Indonesia yang menyatakan terdapat lahan kritis sebesar 23,30 juta Ha dan lahan sangat kritis sebanyak 6,89 juta Ha yang lagi-lagi tidak update, karena merupakan data tahun 2006.
Keinginan Menhut mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang (Perppu) untuk tata ruang didasari penerapan Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang dianggap menghambat penyelesaian konflik tata ruang secara sistematis, ini perlu diwaspadai jangan sampai terburu-buru karena bisa saja terjadi lahan hutan yang akan terserobot dengan alasan pembangunan.
Tuntutan perubahan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) sangat kuat seiring dengan maraknya pemekaran dan sebagian besar revisi perubahan peruntukan maupun fungsi kawasan hutan meminta luasan yang cukup besar, apalagi tumpang tindihnya penggunaan kawasan hutan seperti kebun, tambang atau pemukiman transmigrasi di dalam areal Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), dan parahnya tumpang tindih tersebut tidak hanya terjadi antara 2 jenis perizinan tetapi dapat terjadi lebih dari 2
jenis perizinan.
Perubahan kawasan hutan yang diusulkan ada kecenderungan untuk mengakomodasi keterlanjuran keberadaan kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan, jelas ini melanggar ketentuan UU No 41 Tahun 1999 dan larangan pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang dalam revisi RTRWP pada UU No 26 Tahun 2007 Anggaran Dephut untuk tahun 2010 total mencapai 3,34 Triliun, dalam rencana pembiayaan program rehabilitasi hutan dan lahan tahun 2010 Menhut memberikan anggaran 1,85 Triliun dengan turunan kegiatan yaitu; reboisasi, rehabilitasi mangrove, rehabilitasi hutan rakyat di luar jawa dan rehabilitasi hutan rakyat pengkayaan di Jawa. Total cakupan target lahan yang akan d rehabilitasi sebanyak 500.000 Ha.
Bila di lihat secara jeli anggaran yang diberikan untuk kegiatan monitoring dan evaluasi sebanyak 56,3 Miliar lalu pengawasan dan pengendalian sebesar 42,2 Miliar, angka yang tidak berimbang bila di bandingkan dengan luas hutan Indonesia yang memiliki 126,8 juta hektar hutan, dimana seluas 23,2 juta Ha adalah hutan konversi, 32,4 juta Ha hutan lindung, 21,6 juta Ha hutan produksi terbatas (HPT), 35,6 juta Ha hutan produksi, dan 14 juta Ha hutan produksi konversi (HPK).
Untuk itu berikut beberapa hal yang menjadi catatan untuk Menhut dalam 1 tahun ke
depan, yaitu:
1. Menhut diharapkan berhati-hati dalam upayanya membuat terobosan hukum pada pengelolaan kawasan hutan, keberpihakan kebijakan harus di tempatkan sebesar-besarnya untuk penjagaan kelestarian hutan dan jangan pernah berkompromi terhadap pelanggaran hukum yang terjadi pada kawasan hutan.
2. Dephut diharapkan melakukan sinkronisasi dengan posisioning pembelaan hutan ketika berkoordinasi dengan Departemen PU, Departemen ESDM, Depnakertrans, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Gubernur dan Bupati terkait kegunaan hutan dan tata ruang.
3. Mendukung pencabutan 155 Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang tidak aktif dan mempercepat upaya pemberian izin kepada investor yang akan melakukan restorasi hutan alam.
4. Memperbesar anggaran untuk kegiatan monitoring dan pengawasan hutan hingga mencapai angka 500 Miliar, karena akan sia-sia rehabilitasi hutan dan lahan yang ditargetkan mencapai 500.000 Ha per tahun nya bila tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang kuat.
H. Rofi' Munawar, Lc.
Anggota Komisi IV FPKS
(M Budi Santosa)