JAKARTA - Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang meloloskan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) sebagai peserta Pemilu 2014 mendatang dinilai memicu timbulnya persoalan atas konsideransi dan vonis itu sendiri.
Ahli Hukum Admnistrasi Universitas Atmajaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan, PTTUN terkesan memutus di luar kewenangannya.
"PTTUN terkesan tidak konsisten dalam memutuskan sengketa PKPI. Mestinya yang diuji dan dinilai adalah mengapa keputusan Bawaslu tidak dijalankan KPU yang menyebabkan tidak lolosnya PKPI. Tetapi yang ada di sini hanya menguji tindakan faktual KPU saja," kata Riawan saat diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2013).
Riawan juga menyinggung masalah tenggat waktu pengajuan gugatan yang sudah lewat batas. "PTTUN mengatakan bahwa gugatan PKPI dapat diajukan kapan saja. Hal itu menyalahi Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 2012 yang menegaskan bahwa gugatan itu dilakukan dalam waktu tiga hari. Seharusnya gugatan itu ditolak," tegasnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Saldi Isra menegaskan, tidak dijalankannya keputusan Bawaslu dalam menengahi sengketa Pemilu antara KPU dan PKPI, bukanlah sebagai bentuk pelanggaran kode etik.
"Keputusan KPU tersebut merupakan bagian dari bentuk keputusan administrasi negara yang dikeluarkan oleh KPU," kata Saldi Isra.
Dari rentetan kasus tersebut, Saldi berkesimpulan bahwa dalam memutus perkara, majelis hakim keliru memahami dan menafsirkan ketentuan Pasal 259 ayat 1 dan 3 UU Nomor 8 tahun 2012.
"Majelis hakim keliru dengan hanya menilai sikap penolakan KPU atas putusan Bawaslu. Bahkan majelis hakim tidak lagi mempertimbangkan objek yang menjadi pokok persoalan sengketa antara PKPI dengan KPU," tandasnya.
(Tri Kurniawan)