JAKARTA - Sanksi yang diberikan terhadap dua anggota Polantas yang memalak Warga Negara Asing (WNA) di Bali beberapa waktu dirasa sangat ringan. Pasalnya, aksi tersebut dapat dikategorikan sebagai pemerasan.
Komisi III DPR, sebagai salah satu mitra kerja Polri merasa kecewa dengan keputusan pimpinan Polri yang hanya memberikan sanksi kurungan selama 21 hari bagi oknum tersebut.
"Sanksi ringan tersebut seolah memberikan gambaran kepada publik bahwa kesalahan yang dilakukan sebagai sesuatu yang lumrah dan hanya masuk dalam kategori pelanggaran ringan," kata anggota Komisi III, Ahmad Basarah kepada Okezone, Rabu (17/4/2013) malam.
Ringanya hukuman yang diberikan, sambung politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu, juga menunjukan bahwa praktek pungutan liar (pungli) seolah menjadi hal yang wajar di institusi tersebut.
"Vonis ringan tersebut juga akan berdampak secara psikologis bagi anggota Polantas yang lain untuk tidak ragu melakukan kesalahan yang sama, karena sanksinya juga bersifat ringan," sambungnya.
Selain itu, sanksi ringan tersebut juga tidak sesuai dengan pernyataan Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang sempat mengatakan akan memberikan sanksi pemecatan terhadap keduanya.
Oleh sebab itu, Basarah berharap agar kapolri benar-benar mampu bersikap tegas untuk menindak siapapun oknumnya yang terbukti melakukan pungli. Sebab jika dibiarkan, akan terus berulang sehingga menjadi pemerasan yang lebih besar.
"Pimpinan Polri mengevaluasi kembali keputusannya dan mengganti dengan keputusan yang lebih tegas berupa pemecetan. Agar tidak semakin memperburuk citra Polri di mata masyarakat dan juga internasional, karena kasus ini juga beredar di media massa internasional," tandasnya.
Dua oknum anggota Polantas yang memalak WNA asal Belanda, Kes Van Der Spek, di Bali, yakni Aipda Komang Sarjana dan Bripka I Ketut Indra.
(Tri Kurniawan)