JAKARTA - Para investor asing ditengarai menjadi penguasa frekuensi seluler di Indonesia melalui kepemilikan yang dominan di sejumlah operator sehingga menjurus kepada praktik oligopoli.
Secara teori persaingan usaha, oligopoli adalah kondisi pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
“Terjadi oligopoli frekuensi telekomunikasi di Indonesia saat ini, dan sebagiannya oleh perusahaan asing,” ungkap Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq.
Disarankannya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) harus melihat sektor telekomunikasi sebagai hal strategis dan berdimensi keamanan nasional. “Diperlukan regulasi ketat dan proteksi terhadap penggunaan frekuensi. Jangan pendekatannya murni bisnis korporasi,” tegasnya.
Sebelumnya, marak beredar kabar Axiata tengah membidik saham dari Axis melalui anak usahanya di Indonesia, XL Axiata.
Kondisi pasar Indonesia yang terlalu banyak pemain menjadikan masalah frekuensi sebagai salah satu alat untuk bersaing di masa depan sehingga aksi korporasi itu layak dilakukan Axiata demi mengembangkan XL di Indonesia.
Axis sebagai operator kelima terbesar di Indonesia sahamnya dikuasai oleh Saudi Telecom Company (STC) dari Arab Saudi dan Maxis dari Malaysia. XL sahamnya dikuasai oleh Axiata dari Malaysia.
Selain dua operator ini, Telkomsel pun sahamnya 35 persen dikuasai SingTel dari Singapura, Indosat dikuasai sebagian oleh Qatar Telecom atau Ooredoo, dan Hutchison Tri Indonesia sebagian dikuasai oleh Hutchison dari Hong Kong.
(Muhammad Saifullah )