JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, terjadi ketidakkonsistenan dalam menafsirkan RUU Pilkada bagi fraksi di DPR yang mendukung pilkada dipilih oleh DPRD.
"Yang menjadi soal adalah ketika konstitusi ditafsirkan secara tdak konsisten, ini jadi maslah. DPRD dan kepala daerah bagian dari pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah," kata Titi dalam sebuah diskusi bertajuk "RUU Pemilukada Ditunda?" di Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Dikatakannya, Ketika anggota DPRD dipilih langsung dan dipandang dalam konteks kesetaraan, maka kepala daerah seharusnya juga dipilih secara langsung oleh masyarakat. 
"Apalagi kita menganut sistem presidensil. Dalam sistem presidensil, dimana pun di dunia kalau kepala pemerintahan dipilih langsung maka semua posisi eksektif di bawahnya dipilih langsung. Jadi bagaimana mungkin kita ditngkat nasional menggunakan presidensil, tapi di tingkat lokal kita maunya parlementer dipilih DPRD? Ini kan penafsiran tidak konsisten," terangnya.
Karena itu, Titi justru menyimpan tanya pada fraksi-fraksi di DPR yang mendukung pilkada dipilih DPRD. "Apa tujuan yang ingin merka capai dari mengembalikan pilkada ke DPRD itu? Karena masyarakat tidak menangkap itu dengan baik," ujarnya.
Untuk diketahui, beberapa alasan fraksi yang mendukung pilkada dipilih DPRD, karena saat diadakan secara langsung, akan dapat menimbulkan gesekan sosial yang cukup tinggi. Biaya politik pun menjadi sangat tinggi dengan total pengeluaran bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Menanggapi argumen tersebut, Titi menjelaskan bahwa biaya politik yang tinggi itu sudah dijawab dengan cara mengupayakan digelarnya pemilu serentak. "Maslah kerusuhan, ada berapa data angkanya? Paling 10 persen, dan itu kan rakyat tidak memobilisasi dirinya sendiri untuk rusuh, tetapi di mobilisasi oleh para pihak yang siap menang tetapi tidak siap kalah, jadi kuncinya di partai politik," terangnya.
Masyarakat, lanjutnya, justru  akan berjarak dengan wakilnya di DPR saat ini ketika keputusan yang diambil tidak mampu menjelaskan dengan baik kepada publik.
(Ahmad Dani)