JAKARTA - Sidang kasasi terdakwa Ricksy Prematuri, selaku Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), perusahaan rekanan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menyisakan pertanyaan besar. Putusan kasasi itu dihasilkan dari suara tidak bulat soal tafsir dan logika perkara korupsi.
Adapun aktornya adalah Leopold Luhut Hutagalung, seorang hakim agung yang menjadi anggota majelis yang mengadili perkara Ricksy.
Hakim ad hoc MA itu mengajukan dissenting opinion dan menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana tersebut.
“Apabila dibenarkan cara mengadili kasus seperti ini, implikasinya amat luas sehingga setiap perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan kontrak antara swasta dengan swasta lainnya akan selalu dapat dijadikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi jika salah satu pihak swasta tersebut secara kebetulan memiliki kontrak dengan perusahaan negara,” terang Leopold.
Majelis Hakim MA diketuai oleh Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis yakni Leopold Luhut Hutagalung serta MS Lumme memutuskan Ricksy Prematuri bersalah dan dipenjara lima tahun melalui putusan kasasi bernomor 2330K/PID.Sus/2013.
Menurut Leopold, hubungan antara terdakwa Ricksy sebagai Direktur PT Green Planet Indonesia (PT GPI) dengan Widodo dan Alexiat sebagai karyawan CPI merupakan hubungan perdata.
Di mana, dalam hukum perdata dianut kebebasan berkontrak dengan pihak-pihak yang berkontrak. Tidak ada pihak yang boleh mencampuri pihak swasta untuk berkontrak.
“Bahwa kalau kemudian terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sebagai Direktur PT GPI maka terdakwa dapat digugat dalam perkara perdata oleh PT CPI sebagai lawan dalam berkontrak," terangnya.
"Ternyata, tidak pernah digugat oleh PT CPI. Bahwa turut campurnya Kejaksaan Agung dalam perkara ini melanggar asas berkontrak dari para pihak swasta dan menjadikan perkara ini menjadi aneh dan mengundang pertanyaan besar," ulasnya lagi.
Terdakwa Ricksy, menurut Leopold, tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum maupun menyalahgunakan wewenang serta tidak terbukti terjadinya kerugian negara dalam kasus ini.
Mahkamah Agung (MA) sebelumnya mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) dan memperberat hukuman terdakwa perkara korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Ricksy Prematuri. MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang meringankan hukuman terdakwa.
"MA membatalkan putusan PT dan menyatakan kembali kepada putusan Pengadilan Tipikor dengan menjatuhkan pidana lima tahun penjara," kata Kabiro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, Jumat 14 Februari lalu.
Pada kasus yang merugikan negara hingga Rp100 miliar itu, Ricksy divonis bersalah dan kemudian mengajukan banding. Oleh Pengadilan Tinggi, hukuman yang bersangkutan diringankan menjadi tiga tahun dan jaksa penuntut umum pun mengajukan kasasi.
"Adanya perbedaan hukuman karena perbedaan pendapat, dan perbedaan judex yuris. Itu bisa saja terjadi. Majelis kasasi telah menjatuhkan vonis yang tertanggal 10 Februari 2014 yang isi putusannya menolak permohonan kasasi dari terdakwa dan mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum," terang Ridwan
(Rizka Diputra)