JAKARTA – Vonis kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap dua terpidana kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI), Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo dalam kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) hingga kini masih menuai kontra.
Pasalnya, vonis itu berpotensi menjadi ancaman serius bagi perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi sub-kontraktor perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan bisnis dengan pemerintah, BUMN atau BUMD.
Pemerhati hukum kontrak, Najib Ali Gisymar mengatakan, vonis ini sangat berbahaya karena bisa menjadi yurisprudensi baru.
"Ricksy dan Herland atau perusahaannya mestinya digugat dulu oleh PT CPI sebagai pihak yang berkontrak dengan mereka kalau ada masalah. Namun, jika ini tidak terjadi maka pembayaran kepada mereka adalah sah sesuai kontrak,” terang Najib dalam keterangannya, Kamis (25/9/2014).
Najib yang juga sangat peduli soal penegakan hukum ini menambahkan, apabila proyek bioremediasi dibantu oleh sub-kontraktor lalu digugat oleh pemerintah dengan alasan apapun, maka sesuai dengan prinsip kontrak, pemerintah hanya boleh menggugat PT CPI saja sebagai pihak yang berkontrak dengan pemerintah.
Mekanisme penyelesaian perselisihan pun harus sesuai kontrak kerja sama atau Production Sharing Contract (PSC).
“Sekali lagi, kalau PT CPI tidak pernah mengeluh atau menggugat soal pekerjaan kedua sub-kontraktor ini dan kenyataan bahwa uang PT CPI-lah yang dipakai bukan dari APBN, maka dakwaan korupsi terhadap kedua terpidana ini keliru,” jelasnya.
Menurutnya aparat penegak hukum macam Kejaksaan, Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja setiap saat menciduk perusahaan sub-kontraktor atas tuduhan korupsi apabila ada dugaan bahwa perusahaan yang berkontrak dengan pemerintah, BUMN, atau BUMD berpotensi merugikan negara.
“Jika putusan kasasi ini tidak segera dikoreksi misalnya dengan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) maka vonis ini menjadi yurisprudensi baru di mana setiap sub-kontraktor yang terlibat dalam sebuah kegiatan proyek dengan perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan kontrak dengan pemerintah, BUMN atau BUMD bisa diancam pidana korupsi meski sub-kontraktor tadi dianggap telah mengerjakan tugas dan dibayar sesuai kontrak,” terang Najib.
Berdasarkan putusan kasasi yang diketok oleh Ketua Majelis, Artidjo Alkostar, kedua kontraktor PT CPI itu divonis lima dan enam tahun penjara karena dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi Chevron.
Padahal dalam dissenting opinion dalam kasus Ricksy, Hakim Agung Leopold Luhut Hutagalung menyatakan, telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana itu.
“Apabila dibenarkan cara mengadili kasus seperti ini, implikasinya amat luas sehingga setiap perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan kontrak antara swasta dengan swasta lainnya akan selalu dapat dijadikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi jika salah satu pihak swasta tersebut secara kebetulan memiliki kontrak dengan perusahaan negara,” sebut Hakim Leopold.
(Rizka Diputra)