Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Presiden Diminta Turun Tangan di Kasus Bioremediasi

Rizka Diputra , Jurnalis-Senin, 06 Oktober 2014 |10:37 WIB
Presiden Diminta Turun Tangan di Kasus Bioremediasi
ilustrasi (Foto: Dok. Okezone)
A
A
A

JAKARTAPutusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan tuntutan jaksa soal kasus dugaan korupsi dalam proyek bioremediasi mengundang reaksi dari sejumlah pemerhati hukum.

Pemerhati hukum kontrak, Najib Ali Gisymar berpendapat, putusan MA di tingkat kasasi untuk Ricksy Prematuri selaku Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dan Direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ) Herland Bin Ompo bakal jadi yurisprudensi baru yang berbahaya.

Menurutnya, bila putusan MA ini dibiarkan menjadi yurisprudensi baru maka akan terjadi kekacauan luar biasa dalam penerapan hukum di Indonesia.

"Siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang meskipun diatur jelas oleh undang-undang tertentu namun jika tindakannya dianggap berpotensi merugikan negara, maka dapat dipidana korupsi," ujarnya, Senin (6/10/2014).

Hal itu kata dia misalnya pada kredit macet di bank BUMN atau BUMD pun bisa dipidana korupsi. Bahkan orang yang terlambat membayar tagihan utang ke bank pemerintah bisa diancam pidana korupsi lantaran dianggap bisa berpotensi merugikan negara.

“Pemerintah dan presiden harus turun tangan karena ini bukan sekadar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam sebuah negara,” tukasnya.

Dia menambahkan, kedua kontraktor Chevron ini hanyalah berkontrak secara perdata dengan PT CPI dan tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah.

Menurutnya tidak mungkin mereka Ricksy dan Herland bisa dituduh berbuat kriminal apalagi korupsi sementara CPI tidak pernah mengeluh atas kinerja kedua kontraktornya tersebut.

“Urusan kontrak keduanya dengan CPI baik-baik saja, kok malah orang lain yang ribut. Ini tidak sejalan dengan prinsip yang diatur hukum perdata,” tegasnya.

Dia mengaku sependapat dengan dissenting opinion Hakim Agung Leopold dalam kasus ini yang menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara proyek bioremediasi ini.

“Selain itu, sesuai fakta sidang Edison Effendi sebagai ahli pun sangat patut diduga memiliki konflik kepentingan karena dia saksi fakta dan sekaligus saksi ahli, plus pihak yang pernah kalah tender,” bebernya.

Sementara itu, pakar hukum lingkungan Linda Yanti Sulistiawati menilai, Undang-undang Lingkungan mestinya yang digunakan untuk mendakwa karena subyek yang didakwakan terkait peraturan di bidang lingkungan.

“Dakwaan terhadap keduanya dalam kasus ini terkait izin pengolahan limbah dan teknis pengerjaan bioremediasi serta dipakainya hasil pengujian atas sampel tanah yang dilakukan oleh jaksa yang semuanya terkait dengan peraturan dan undang-undang di bidang lingkungan. Jadi semestinya kasus ini diselesaikan dengan hukum yang diatur dalam Undang-undang Lingkungan tersebut,” ujar Linda terpisah.

Menurutnya, jika sebuah tindakan dianggap melanggar suatu undang-undang apalagi yang bersifat khusus seperti Undang-undang Lingkungan, maka penegak hukum semestinya secara konsisten menggunakan Undang-undang tersebut untuk mengadili perkara yang dimaksud.

“Saya heran bila Undang_undang Tipikor yang digunakan oleh MA untuk mendakwa dan memvonis dalam kasus ini karena kedua kontraktor ini hanya memiliki hubungan kontraktual dengan Chevron bukan dengan pemerintah dan bukan menggunakan uang pemerintah,” sebut Linda.

(Rizka Diputra)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement