JAKARTA - KPK menangkap tangan Direktur Pemasaran PT. Anak Negeri Mindo Rosalina Manullang saat bersama Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI) Muhammad El Idris dan Sekjen Kemenpora Wafid Muharram. Penangkapan terjadi di Kantor Kemenpora Kamis 21 April 2011 dalam kasus pembangunan Wisma Atlet.
Dari pengacara Rosa, diketahui bahwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin ada di balik kasus ini. Nama Nazar sudah terlanjur disebut. Sejak ditahan Rosa sering didatangi orang suruhan Nazar yang memintanya untuk tak menyebut nama eks anggota DPR Partai Demokrat itu.
Karena namanya terdesak, akhirnya mantan anggota Komisi X DPR itu menggelar jumpa pers di ruang fraksi Partai Demokrat didampingi Benny K Harman, Ruhut Sitompul, dan Nurhayati Assegaf. Dalam kesempatan itu Nazar menegaskan dirinya sama sekali tak terlibat dalam kasus itu.
Tak lama setelah jumpa pers itu, Nazar terlihat mendatangi ruang kerja Ketua DPR Marzuki Ali. Setelah itu keberadaan Nazar tak diketahui. Dia diketahui kabur ke Singapura pada 23 Mei 2011. Kepergian tersebut, tepat satu hari sebelum KPK meminta Ditjen Imigrasi mencegah yang bersangkutan pergi ke luar negeri pada tanggal Mei 2011.
Dia menjadi buronan interpol selama tiga bulan, hingga akhirnya tertangkap di Kolombia pada pertengahan Agustus. Dalam beberapa kesempatan Nazar mengatakan kepergiannya ke luar negeri atas perintah sang bos yaitu Anas Urbaningrum.
Namun belakangan, Nazar mengatakan kepergiannya ke luar negeri karena ribut dengan Cikeas (SBY).
"Saya pergi ke luar negeri karena ribut dengan Cikeas. Bukan karena kasus suap wisma atlet," kata Nazar.
Selain kasus Wisma Atlet, Nazar juga menyebut keterlibatan sejumlah politikus Partai Demokrat yaitu Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh.
Nazar menyatakan bahwa ada uang Rp100 miliar hasil dari korupsi proyek Hambalang yang dibagi-bagikan kepada politikus Partai Demokrat itu, yaitu Rp 50 miliar digunakan untuk pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan Rp50 miliar dibagi kepada anggota DPR, termasuk kepada Menpora Andi Alfian Mallarangeng.
Pada 3 Desember 2012 KPK menetapkan Andi Mallarangeng sebagai tersangka. Dalam dakwaanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebutkan Andi memerintahkan kepada Wafid Muharam agar menyelesaikan tanah Hambalang yang bermasalah karena belum memiliki sertifikat. Andi juga mengarahkan agar menambahkan asrama senior dan venue olahraga ekstrim.
Setelah masterplan Hambalang diperbaiki sesuai arahan Andi, dilakukan kembali pemaparan rencana pembangunan sport center Hambalang. Kala itu, Wafid mengatakan perkiraan anggaran proyek sekitar Rp2,5 triliun dan akan ada hambatan saat proses anggaran. Namun, Andi menanggapi santai. "Sudahlah, di Komisi X itu kan teman-teman saya," kata Andi.
Akhirnya Wafid meminta Kepala Biro Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar untuk merealisasikan permintaan Andi. Andi memperkenalkan adiknya Andi Zulkarnain Anwar alias Choel Mallarangeng kepada Wafid di ruangan Kemenpora.
Saat itu, Andi menyatakan bahwa adiknya akan banyak membantu urusan Kemenpora, sehingga bisa langsung menghubungi Choel. Pada pertengahan 2010, Deddy dan Wafid bertemu Chole di sebuah restoran Jepang. Dalam pertemuan itu Choel mengatakan adik bungsunya itu belum mendapatkan apa pun dari proyek tersebut. Wafid pun mempersilahkan Choel berbicara langsung ke PT Adhi Karya
Selanjutnya, dilakukan pertemuan di ruang Menpora yang dihadiri Wafid, Deddy, Choel, Fakhruddin, dan Arief dari PT Adhi Karya.
Dengan ditetapkannya KSO Adhi-Wika sebagai pemenang proyek Hambalang, total dana yang diperoleh Andi Rp4 miliar dan USD550.000. Adapun uang Rp4 miliar itu diperoleh secara bertahap yaitu Rp2 miliar dari PT Global Daya Manunggal (GDM). Rp1,5 miliar dari PT GDM diserahkan juga kepada Choel dan Rp500 juta dari PT GDM diserahkan Mohammad Fakhruddin kepada Choel.
Andi oleh JPU dituntut pidana 10 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, jaksa juga menuntut agar majelis menjatuhkan pidana tambahan kepada Andi berupa uang pengganti Rp2,5 miliar yang dibayar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan berkekuatan tetap atau inkrah. Jika tidak harta benda disita.
Namun akhirnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Andi selama empat tahun penjara, dengan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan penjara. Vonis ini diketahui lebih ringan dari tuntutan JPU selama 10 tahun penjara, denda Rp300 juta dan subsider 6 bulan kurungan penjara.(fid)
(Ahmad Dani)