RUU PILKADA yang akan disahkan rapat paripurna DPR pada hari ini akan menentukan arah demokrasi di Tanah Air. Pascareformasi digelar, usulan pemilihan kembali ke DPRD kembali mencuat dari kubu partai politik yang kalah di pemilihan presiden silam.
Koalisi Merah Putih yang diisi, Golkar, Gerindra, PAN, PKS dan PPP ngotot betul ingin menggolkan pilkada dipilih oleh DPRD. Alasan mereka jelas, dengan dipilih DPRD, peluang mereka untuk berkuasa sebagai bupati/wali kota juga kian terbuka lebar. Maklum, koalisi ini diusulkan permanen hingga ke seluruh dewan kabupaten/kota.
Di kubu berseberangan berdiri sejumlah partai politik yang sejatinya sebagai pemenang pemilu 2014 lalu. Ada PDI Perjuangan, PKB, Nasional Demokrat (khusus yang satu ini belum ada kursi di DPR 2009-2014), dan juga Hanura. Kekuatan mereka sebagai pemenang pemilihan presiden ingin dipangkas di sektor kabupaten/kota. Tentu saja kelompok ini meradang dan mengusulkan agar pilkada dipilih langsung oleh rakyat.
Sampai sekarang, pembahasan mengenai RUU Pilkada belum disentuh rapat Paripurna DPR. Agenda mengenai nasib demokrasi pemilihan di Indonesia itu kemungkinan baru akan dibahas sore atau malam nanti. Sudah pasti, lobi-lobi politik masih dilancarkan partai yang berkepentingan.
Namun, jauh sebelum itu, sebaiknya kedua kubu benar-benar memahami esensi dari RUU Pilkada yakni mana yang benar-benar membawa kepentingan rakyat dan bukan kepentingan partai. Pilkada langsung atau tidak langsung sebenarnya keduanya memiliki kans untuk menjadikan aspirasi rakyat dikedepankan.
Tapi, alasan kepentingan parpol yang ingin berkuasa di daerah harus diredam, karena yang diinginkan rakyat adalah pemimpin yang bisa membawa rakyat sejahtera. So, sebaiknya, partai politik sibuk mengatur bagaimana pemimpin yang benar-benar kompeten yang bisa lolos menjadi calon dan bukan pemimpin yang hanya menjadi kepanjangan tangan partai politik. Karena, hakikat demokrasi adalah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
(Ahmad Dani)