Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Boneka Demokrasi

Arpan Rachman , Jurnalis-Senin, 29 September 2014 |11:22 WIB
Boneka Demokrasi
Arpan Rahman
A
A
A

…pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya pengemban Ampera yang setia
di bawah Undang-undang Dasar 45
kita menuju ke Pemilihan Umum…
 
DARI interpretasi terhadap lirik lagu Mars Pemilu di atas, kita akan tahu bahwa hak rakyat Indonesia adalah memilih wakil-wakil mereka berdasarkan UUD ’45. Bukannya secara langsung dalam Pemilu, melainkan hanya menuju ke Pemilu. Jadi, bila ada Pemilu-pemilu lanjutannya, wakil-wakil terpercaya kita yang mengemban Ampera itulah mengerjakannya. Ini hanya interpretasi lirik lagu, bukannya interpretasi hukum.
 
Di meja makan sebuah hotel, kemarin. Okezone berdiskusi dengan dua orang dosen. Kami berbincang-bincang soal UU Pilkada yang baru disahkan DPR. Betapa sedapnya, undang-undang dibicarakan di meja makan!
 
Dua dosen itu baik hati. Okezone tak hanya boleh mendengar dan bertanya saja. Tapi juga diberi kesempatan mengutarakan pendapat. Ah, alangkah nikmatnya: di meja makan ngomongin undang-undang!
 
Di depan Pak Alwy yang pernah diajar Noam Chomsky dan Pak Fadli yang selangkah lagi jadi profesor. Okezone merasa seperti ikut lomba dongeng setengah deklamasi tentang demokrasi.
 
Sebelum ini, Pilkada langsung diadakan untuk memilih bupati, walikota, gubernur, anggota dewan, dan presiden beserta wakilnya masing-masing. Tapi kelangsungan itu – menurut Okezone jujur saja – sebenarnya masih berlangsung setengah-setengah. Pasalnya, keputusan KPU tidak mutlak dan masih dapat diganggu gugat. Ujungnya akan diselesaikan di MK toh!
 
Kita tak mengerti, mengapa MK merendahkan kelembagaannya dengan unjuk kebolehan buat ikut-ikutan menguji penyelenggaran Pilkada dan putusan KPU. Meskipun produk KPU itu nanti pada gilirannya berlaku layaknya undang-undang juga. Seperti berlagak mengadakan judicial review sebelum undang-undangnya sendiri disahkan.
 
Soal vital pemilihan langsung oleh rakyat mengalami reduksi di situ. Coba rincikanlah berapa persen Pilkada yang digugat ke MK dibandingkan Pilkada yang tak digugat ke MK? Banyakkah kandidat yang begitu selesai pemilihan langsung mengaku kalah. Sedikitkah kontestan yang membawa masalahnya ke depan hakim agung?
 
Kalau MK yang berhak memutuskan, maka apakah bupati, walikota, gubernur, anggota dewan, dan presiden beserta wakilnya masing-masing lantas otomatis menjadi pemimpin yang murni pilihan rakyatnya sendiri? Atau jangan-jangan bupati, walikota, gubernur, anggota dewan, dan presiden beserta wakilnya masing-masing hanya sekedar menjadi pemimpin yang murni dikocok dari hasil interpretasi hukum terhadap event Pemilu belaka.
 
Di situ terasa rakyat menjadi sebuah boneka yang seenaknya ditarik-ulur oleh dalangnya. Bukan menjadi dalang yang bisa leluasa menarik-ulur boneka yang mereka mainkan. Tapi memang – bila melihat pertunjukan wayang – dalang tidak banyak. Dalang itu sedikit saja. Bahkan, biasanya, cuma satu.
 
Semua mungkin takkan jadi begini kalau putusan KPU mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Jadi, biarlah kini giliran DPR yang bekerja menjadi pemilih mewakili kita.
 
Kalau ada segelintir orang yang menurut rencana hendak menggugat UU Pilkada barangkali hanya jengkel karena kehilangan hari libur. Segelintir lainnya mangkel mungkin sebab kehilangan lapangan kerja sebagai tim sukses, tim survey, dan makelar Pilkada.
 
Lho rakyatnya sendiri ke mana? Mereka tentu sedang tidur. Nyenyak dalam mimpi indah di negeri demokrasi Pancasila. Sst, jangan diganggu!
 
…pemilihan umum telah memanggil kita
seluruh rakyat menyambut gembira
hak demokrasi pancasila
kita Indonesia merdeka…
 
Zzz. Zzz.

(Syukri Rahmatullah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement