BOLA panas harga bahan bakar minyak (BBM) sudah jelas menggelinding ke pemerintahan baru. Kepastian itu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak mentah-mentah keinginan pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK agar menaikkan harga BBM di rezim saat ini.
Belum ada yang memberikan kepastian soal kenaikan harga BBM, kapan dan berapa besarannya. Namun, informasi yang berembus dari Tim Transisi, kenaikan harga BBM akan dilakukan pada November 2014. Saat ini Tim Transisi tengah menggodok mekanisme kenaikan apakah kenaikannya tetap atau gradual. Penggodokan ini termasuk skenario dampak inflasi.
Berdasarkan data Bank Indonesia yang dihimpun Tim Content and Audience Strategy Okezone.com, apabila BBM naik Rp1.000 per liter, inflasi akan meningkat 1–1,5 persen, bila BBM naik Rp2.000 per liter, inflasi akan naik 2,11 sementara GDP tumbuh 0,06 persen. Bila BBM naik Rp3.000 per liter, inflasi akan naik 3,16 persen sementara GDP 0,15 persen.
Berbeda lagi dengan data versi BPS yang memprediksi imbasnya lebih tipis. BBM naik Rp1.000 per liter maka inflasi terdorong 0,38 persen, BBM naik Rp2.000 per liter maka inflasi terdorong 2,5 persen, dan BBM naik Rp3.000 per liter inflasi terdorong 2–3 persen.
Kedati proyeksi inflasi dari dua lembaga tersebut berbeda, yang pasti akan memberikan indikasi penurunan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, kenaikan harga untuk komponen krusial yang terjadi selama 2014 bukan hanya BBM. Sebelumnya sudah ada yang lebih dulu dinaikkan, seperti tarif dasar listrik (TDL) yang dilakukan secara berkala dan harga gas elpiji 12 kilogram (kg). Jadi, sebenarnya beban kenaikan harga yang dipikul oleh konsumen tidak hanya dari BBM, tetapi juga dari TDL dan gas.
Dalam sebuah pertemuan di Jakarta, World Bank menyatakan bahwa sebanyak 68 juta penduduk Indonesia rentan jatuh ke jurang kemiskinan. World Bank menyatakan bila terdapat sedikit goncangan ekonomi, bencana, atau kehilangan pekerjaan maka dengan mudah membuat mereka kembali jatuh miskin.
Soal jaring pengaman masyarakat seperti bantuan langsung tunai (BLT) yang biasa diterapkan saat ini pun masih dipertanyakan efektivitasnya. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah skema penghematan APBN dengan pengurangan kuota subsidi BBM dan alih dana subsidi bagi pembangunan pun belum dijelaskan.
Memang saat ini masih belum jelas, namun berbagai kalangan sudah cemas dibuatnya. Pelaku ekonomi pun sudah berhitung dan siap menaikan harga barang. Rangkaian sebab-akibat ini patut diantisipasi, sehingga tidak memberatkan konsumen dan laju pertumbuhan ekonomi.
(Rani Hardjanti)