JAKARTA - Terdapat kisah menarik yang dituturkan seorang (mendiang) saksi sejarah, terkait kontroversi Surat Perintah 11 Maret (1966) atau populer disebut Supersemar. Dini hari saat surat itu ditandatangani Presiden RI pertama, Soekarno, hampir terjadi baku tembak seorang ajudan pribadinya dengan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat (AD).
Adalah Soekardjo Wilardjito yang sempat merasa harus mempertaruhkan nyawanya sendiri demi keselamatan Sang Proklamator. Sebuah kejadian yang cenderung pemaksaan pada Soekarno untuk menandatangani mandat Supersemar, di mana isinya memberi wewenang pada Pangkopkamtib Mayjen Soeharto, untuk meredakan situasi keamanan dan ketertiban.
Supersemar itu dibawakan empat perwira tinggi (bukan tiga seperti yang selama ini dipaparkan), yakni Brigjen TNI M Jusuf, Brigjen TNI Amir Machmud, Brigjen TNI Basuki Rahmat, serta Mayjen Maraden Panggabean.
Mereka datang ke Istana Bogor pada pukul 01.00 dini hari, tepat ketika Bung Karno hendak pergi tidur. Dalam buku “Mereka Menodong Bung Karno” yang rilis pada 2008, Wilardjito menuturkan:
“Hanya mengenakan baju piyama, Bung Karno menemui keempat jenderal tersebut. Lantas Jenderal M Jusuf menyodorkan sebuah surat dalam map warna merah jambu. Setelah membaca surat tersebut dengan nada terkejut, Bung Karno spontan berkata, ‘Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!’,” tulis Wilardjito meniru kata-kata Bung Karno.
“Untuk mengubah, waktunya sudah sangat sempit. Tanda tangani sajalah, paduka. Bismillah, sahut Brigjen Basuki Rahmat yang diikuti M Panggabean mencabut pistol FN 46 dari sarungnya. Secepat kilat, aku juga mencabut pistol,” tambahnya.