Sejak tingkat sekolah dasar, Otista bukan anak yang memanjakan diri atas kondisi ekonomi orang tuanya yang lebih dari cukup. Justru, Otista menumbuhkan jiwa pemberontak, berkat tingginya antusiasme pada tulisan-tulisan Ernest Douwes Dekker, yang kerap kali mengecam kebijakan pemerintah Hindia-Belanda.
Seringkali, Otista ‘sembunyi-sembunyi’ untuk bisa membaca tulisan idolanya itu di beberapa surat kabar, macam DE Expres. Pemikirannya untuk berontak demi bangsanya terus bergelora ketika mendapat satu kursi di “Gementeraad” (Dewan Kota) dan kemudian “Volksraad” (Dewan Rakyat – sekarang DPR).
Dari situ juga, Otista kemudian sering dijuluki pemerintah Hindia-Belanda sebagai “Si Jalak Harupat” yang artinya, ayam jago yang keras dan tajam menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang bila diadu.
Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942-45, Otista memimpin surat kabar “Tjahaja”, surat kabar yang kemudian diberangus Jepang, lantaran menyebarkan berita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Otista yang kemudian menikahi Soekirah, murid di sekolah HIS yang pernah diajarnya, sempat diikutkan ke dalam BPUPKI dan kemudian PPKI. Pekik “Merdeka” pun bisa dibilang Otista yang mempopulerkannya.