JAKARTA - Meski Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengirimkan utusan khusus, bahkan salah seorang di antaranya putra kandung SBY. Namun, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri enggan juga menghadiri pembukaan Kongres Partai Demokrat yang resmi dimulai kemarin di Surabaya, Jawa Timur.
Untuk ke sekian kalinya, upaya mempertemukan Mega dengan SBY menemui jalan buntu. Pertemuan Presiden RI ke-5 dan ke-6 ini hanya berlangsung dalam beberapa kesempatan seperti saat meninggalnya HM Taufiq Kiemas, suami Megawati dan saat debat kampanye Pilpres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2004 dan 2009.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi menilai, keengganan putri Bung Karno tersebut untuk menghadiri pembukaan Kongres Partai Demokrat di Surabaya lebih dikarenakan "ganjalan" masa lalu. Padahal, demi hubungan politik jangka panjang dan rekonsiliasi politik, harusnya Megawati tetap menghormati undangan.
"Kita harus belajar dari tokoh-tokoh nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Agus Salim, Tjokroaminoto dan lain-lain yang tetap rukun dan guyub walaupun memiliki pandangan politik yang berseberangan. Beda ideologi harusnya tidak memendam permusuhan pribadi yang dilestarikan dan diwariskan. Tidak elok untuk pembelajaran politik kalangan muda," tegas dosen di Program Sarjana UI ini kepada Okezone, Selasa (12/5/2015).
Menurut pengajar Program Pascasarjana UI dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, kegagalan SBY dan Demokrat menghadirkan Megawati ke acara pembukaan kongres makin menunjukkan kata "rekonsiliasi" antara Mega dan SBY semakin sulit terwujud dalam waktu dekat.
"Perlu ada upaya tepat dan waktu yang tepat untuk mempertemukan dua anak bangsa terbaik ini dalam mementum yang pas. Saya yakin di usia senja beliau-beliau ini, kalangan muda perlu suri tauladan politik yang baik dan mencerdaskan. Butuh kesabaran dan kebesaran jiwa dari keduanya," pungkasnya.
(Arief Setyadi )