Misi Hidup-Mati yang Dibawa Soekarno ke Tanah Rencong

Randy Wirayudha, Jurnalis
Senin 15 Juni 2015 06:39 WIB
Presiden RI pertama Ir. Soekarno (Foto: Sindo)
Share :

SITUASI genting Republik Indonesia yang baru berusia dua tahun lebih pada medio Juni 1948, membuat Presiden Soekarno mendatangi Aceh. Di daerah dengan sebutan tanah rencong inilah, satu-satunya wilayah RI yang dianggap masih berdaulat penuh kala itu.

Pasca-Agresi Militer I Belanda dan Perjanjian Renville, sejumlah wilayah RI terkepung negara-negara boneka buatan Belanda macam Negara Indonesia Timur atau Negara Pasundan. Tak pelak, Aceh pun disebut jadi “saham” atau modal yang sangat penting untuk mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Soekarno pun mengunjungi bumi serambi Mekah pada 15 Juni 1948 bersama Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman dan mendarat di landasan Lhok Nga, untuk bertemu berbagai tokoh masyarakat di Aceh, dengan membawa misi “hidup-mati” terkait keutuhan RI.

Seperti dikutip dari buku ‘Aceh Daerah Modal’, Soekarno menjalani kunjungan tiga hari untuk berdialog dengan Tengku Daud Beureuh di Markas Divisi X Komandemen Sumatera, Bireuen. Dalam pertemuan itu, Soekarno, demi membangkitkan rasa patriotisme segenap rakyat Aceh, mengungkit kembali perlawanan melawan kolonial Belanda di Aceh.

“Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh berperang melawan kolonialisme Belanda. Sekarang giliran kita untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta ini” seru Soekarno.

“Di mana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia. Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan, siap melakukan ‘Perang Sabil’ untuk mengusir kaum penjajah,” tambahnya.

Dalam dialog berikutnya di Gubernuran Kutaraja (kini Banda Aceh), disepakati “Bireuen Agreement”, untuk merumuskan doktrin perang semesta, di mana lima butir isinya adalah mobilisasi umum, mengaalirkan pasukan dan logistik memenangkan pertempuran Medan Area, pembenahan kilang senjata di Aceh, pengadaan pesawat terbang “Seulawah RI-001", serta penguatan siaran radio untuk meng-counter propaganda Belanda.

Kunjungan Soekarno yang dilanjutkan esok harinya untuk bertemu sejumlah saudagar Aceh, akhirnya menghasilkan salah satu goresan emas catatan sejarah rakyat Aceh, di mana sumbangan rakyat Aceh membolehkan RI membeli satu unit pesawat Dakota DC-3 yang diberi nomor sayap RI-001.

Tapi ironisnya, ketika Belanda sudah keluar dari bumi pertiwi (kecuali Irian/Papua), salah satu tokoh Aceh, Daud Beureuh justru berkhianat. Pada 20 September 1953, Daud Beureuh memilih menyeberang ke kubu “pengacau” Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

(Randy Wirayudha)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya