JAKARTA – Tak sedikit literatur yang menyeruakkan isu bahwa Jenderal Soeharto (yang di kemudian hari Presiden kedua RI), terlibat di belakang Gerakan 30 September 1965 (G30S), gerakan yang memakan korban sejumlah jenderal, salah satunya Menteri/Menteri Panglima (Men/Pangad) Letjen Ahmad Yani.
Namun, isu-isu semacam itu tak begitu saja dipercaya pihak keluarga Ahmad Yani. Putri ketiga Jenderal Yani, Amelia Yani, kepada Okezone mengaku tak percaya jika ada orang yang menyebut Soeharto terlibat penculikan dan pembunuhan para jenderal.
Dugaan itu sempat diperkuat dengan adanya rumor perang dingin, lantaran Jenderal Yani yang lahir pada 19 Juni 1922, yang sedianya merupakan junior Soeharto, bak dianakemaskan Presiden Soekarno.
“Kedekatan bapak dengan para seniornya itu sangat bagus. Pak Harto memang lebih senior saat itu. Tapi ketika bapak jadi Men/Pangad, dia menjadikan Pak Harto Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat). Dia menempatkan seniornya di tempat yang baik,” tutur Amelia.
“Jadi tidak mungkin Pak Harto terlibat (G30S). Sejarah mereka terbentang panjang ke belakang sejak masa Revolusi. Kalau Pak Yani di Magelang butuh pasukan, Pak Harto bantu kirim. Begitu juga sebaliknya, jadi mereka sudah biasa kerja sama sejak lama, mereka berjuang bareng-bareng,” tambahnya.
Relasi Jenderal Yani dengan para perwira lainnya juga disebutkan Amelia, terjaga dengan apik. Misalnya dengan Mayjen Musannif Ryacudu, ayah dari Menteri Pertahanan saat ini, Ryamizard Ryacudu, dengan mantan Panglima TT-II/Sriwijaya Ibu Sutowo, Suryo Sumpeno, Jenderal Soedirman, Jenderal Gatot Soebroto, Jenderal Abdoel Haris Nasution, hingga Laksamana Udara Omar Dhani.
“Hampir semua yang pernah ikut bertempur sama bapak hubungannya baik. Dengan Pak Gatot, dia sayang sekali sama bapak. Kita juga kalau main ke rumahnya di Jalan Wahid Hasyim, sering dipangku dan bercanda sama Pak Gatot,” lanjutnya di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani, Jalan Lembang Nomor 58, Jakarta Pusat.
“Dengan (KSAU) Pak Omar Dhani, (KSAL) Pak RE Martadinata, mereka sering kumpul di Istana Bogor, di Cipayung. Begitupun dengan Pak Nas (Nasution), walau pernah ada friksi dengan bapak,” imbuh Amelia.
Friksi itu terjadi ketika Ahmad Yani masih menjabat Deputi KSAD, diangkat Soekarno menjadi Kepala Staf KOTI (Komando Tertinggi), tidak melalui Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) saat itu.
Hanya, keluarga Jenderal Yani sempat terkejut pada KSAU Omar Dhani ketika terjadi peristiwa G30S yang menimbulkan korban ayah mereka. Omar Dhani menyatakan dia berada di balik gerakan tersebut.
“Ketika peristiwa 1 Oktober itu Pak Harto sebagai Pangkostrad minta dukungan semua angkatan, cuma Omar Dhani yang enggak mau. Dia bilang berada di belakang G30S. Tapi di kemudian hari dari pernyataan putranya (Feri Omar Nursaparyan), itu sebenarnya kesalahan laporan dari bawahannya. Tapi itu sudah risikonya. Pernyataannya berbahaya, tapi risiko harus ditanggung,” sambungnya.
Omar Dhani sendiri sempat terbang ke Kamboja, tapi dipanggil pulang lagi dan ketika mendarat, Omar Dhani langsung ditangkap dan dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa. Dengan tuduhan terlibat G30S, Omar Dhani divonis mati, meski pada akhirnya diberi grasi oleh Presiden Soeharto.
“Feri menceritakan, ‘Ayah saya seorang militer bukan PKI (Partai Komunis Indonesia). Tapi dia salah ambil satu tindakan, di mana dia bilang berada di belakang G30S’. Setelah kembali dari Kamboja, Omar Dhani langsung masuk bui, keluarganya pun berantakan,” tandas Amelia.