SETELAH hampir sebulan lamanya perundingan Roem-Roijen bergulir, akhirnya sebuah perjanjian disepakati bersama antara perwakilan Indonesia dan Belanda, 7 Mei 66 tahun silam (1949).
Sebuah perjanjian yang jadi pijakan awal menuju Konferensi Meja Bundar, sebelum Indonesia akhirnya diakui Belanda pada Desember 1949 – bukan proklamasi 17 Agustus 1945.
Tapi bukan itu yang jadi titik focus pembahasan kali ini, pun begitu soal di balik perjanjian antara Mohammad Roem dan Herman van Roijen itu, melainkan soal tanggapan Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman, terkait hasil Perjanjian Roem-Roijen.
Soedirman tetap tak begitu percaya dan menanggapi sinis perjanjian yang ditandatangani 7 Mei 1949 itu, lantaran berpikir bahwa nantinya bisa saja Belanda melanggar lagi, seperti yang pernah terjadi pasca-Perjanjian Linggardjati dan Renville.