Belum lagi, alumnus pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA) itu juga mempertanyakan keabsahan Mohammad Roem sebagai perwakilan sah pemerintah.
Pasalnya, sejak Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948, pemerintah pusat melalui Presiden Soekarno memandatkan Menteri Pertahanan Sjafroeddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jadi, seharusnya Sjafroeddin-lah yang berhak disebut perwakilan sah Indonesia.
Satu lagi, Soedirman merasa tersinggung saat Mohammad Roem tidak menyebut TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk menghentikan gerilya, melainkan menyebut dengan kesatuan bersenjata. Dengan begitu sama saja dianggap yang bergerilya bukan TNI, melainkan gerombolan bersenjata.
Juga, sama saja bahwa Roem “mengiyakan” propaganda Belanda yang lantang menyebut TNI sudah hancur. Padahal Serangan Oemoem 1 Maret 1949 sebelumnya, merupakan upaya TNI untuk membuktikan diri pada dunia bahwa mereka masih ada.
Itu bukan pertama kali Soedirman dengan berat hati harus ikut apa kata pemerintah yang memprioritaskan diplomasi dengan Belanda.