Produksi garam tradisional kala itu memanfaatkan potongan bilah-bilah bambu yang disusun berderet. Deratan bilah-bilah bambu tersebut kemudian ditumpuk lagi beberapa lapis ke atas dan terakhir di tutupi semak-semak di bagian atasnya.
Malam hari, warga beraktivitas mengangsu air asin dari dalam sumur untuk dibawa ke lokasi penggaraman yang juga berada di dekatnya. Aktivitas dilakukan malam hari karena pada pagi-sore digunakan warga untuk bertani. Setelah 3-5 hari, garam baru dapat dipanen. Garam hasil panenan dipasarkan hingga ke luar wilayah Boyolali.
Ditemui terpisah, Sekretaris Desa Ngaglik, Mukimin, mengatakan dulu area sekitar sumber air asin tak pernah sepi, selalu ramai dengan aktivitas selama hampir 24 jam. Pagi-siang ramai dengan aktivitas pasar tradisional yang ada di dekat jembatan kecil Desa Ngaglik. Pasar tersebut selalu ramai, belum lagi dengan adanya pedagang-pedagang kain etnis Tionghoa dari Semarang yang sengaja datang berdagang di sana.
Kini aktivitas tersebut tak lagi ditemui. Lokasi sumber air asin terbengkalai. Sumber air asin tak lagi dimanfaatkan karena kalah bersaing dengan pabrik-pabrik garam modern.
Pada pembuatan garam tradisional, harus menunggu 3-5 hari untuk memproduksi sekitar 20 kilogram garam. Selain itu warga masih trauma dengan kejadian meninggalnya seorang ibu yang diduga bunuh diri bersama dua orang anak kembarnya di dalam sumur asin tersebut pada 1992.
Penelitian dari sejumlah kalangan sudah berkali-kali dilakukan di sumber air asin tersebut. Mulai dari institusi pendidikan seperti Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, hingga pemerintah pernah mengadakan penelitian di sumber air tersebut.