MK: Jika Pilkada Serentak Ditunda Bertentangan UUD 45

Dara Purnama, Jurnalis
Selasa 29 September 2015 18:11 WIB
Pilkada Serentak (Foto: Ilustrasi)
Share :

JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, pilkada harus bisa menjamin kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, oleh karenanya Undang-Undang (UU) tentang Pilkada harus menjamin kekuasaan tertinggi tersebut berdasarkan amanat UUD 1945. Selain itu, harus ada jaminan agar pilkada tetap dapat dilaksanakan.

“Jika pilkada tidak dilaksanakan dan ditunda sampai pemilihan berikutnya bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi hanya karena tak terpenuhinya syarat paling sedikit adanya dua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah meskipun sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Dengan kata lain, demi menjamin terpenuhinya hak konstitusional warga negara, pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon,” katanya dalam sidang uji materiil UU Nomor 8 Tahun 2015 dengan Pemohon Effendi Gazali di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (29/9/2015).

Dalam permohonannya, Effendi Gazali memberikan opsi agar pilkada tetap dilaksanakan, yakni calon tunggal tetap dihadapkan dengan pemilihan dengan lawan pasangan calon kota kosong di kertas suara. Namun, Hakim MK, Suhartoyo mengatakan, mahkamah tidak sependapat dengan pandangan pemohon. Pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah “setuju” atau “tidak setuju” dengan pasangan calon tersebut, bukan dengan pasangan calon kotak kosong, sebagaimana dikonstruksikan pemohon.

“Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “setuju”, maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih “tidak setuju” maka dalam keadaan demikian pemilihan ditunda sampai pemilihan kepala daerah serentak berikutnya. Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara “tidak setuju” tersebut,” jelas Suhartoyo.

Mekanisme demikian, lanjut Suhartoyo, menurut mahkamah lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing sebagaimana ditunjukkan dalam hasil studi pemohon yang terjadi di berbagai negara seperti Amerika Serikat (dalam pemilihan anggota house dan senat), di Inggris, Kanada, Skotlandia (untuk pemilihan anggota parlemen), Islandia (untuk pemilihan presiden), dan Singapura (untuk pemilihan presiden dan parlemen).

Sebelumnya, Effendi Gazali, memberikan perbandingan di beberapa negara, jika terdapat calon atau pasangan calon tunggal dengan konteks pemilu legislatif senat serta juga pemilu presiden. Pemilihan tidak dilangsungkan dan calon tunggal dinyatakan menang secara aklamasi.

“Contoh-contohnya antara lain sebagai berikut di Amerika Serikat dalam pemilu 2014, 32 kursi kongres terpilih tanpa saingan, di Inggris 3 persen dari anggota legislatif terpilih tanpa saingan, di Singapura sejumlah daerah pemilihan parlemen memiliki calon tunggal, juga di Kanada dan Skotlandia dalam pemilihan parlemen/legislatif, di Irlandia terjadi pemilihan presiden dengan calon tunggal pada tahun 1938, 1952, 1974, 1976, 1983, 2004, di Islandia pemilihan presiden dengan calon tunggal terlaksana pada 1992 dan 2000, di Singapura pemilu presiden dengan calon tunggal terjadi tahun 1999 dan 2005,” jelas Effendi.

Di negara lain, terangnya, pemilihan tetap dilangsungkan dan pemilih dihadapkan pada pilihan kolom (kotak) calon tunggal dan kolom (kotak) kosong pada kertas suara. Terdapat juga variasi, pemilih boleh menuliskan nama calon yang mereka ingin pilih.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya