TOKYO – Meski Jepang melegalkan prostitusi dalam berbagai bentuk, tapi ada batasan tertentu di dalamnya, seperti mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) yang masih di bawah umur.
Pun begitu, prostitusi yang dilakoni para pelajar perempuan yang notabene masih di bawah umur, tetap eksis dalam berbagai selubung, seperti yang ditemukan CNN di Ibu Kota Tokyo, sepanjang libur akhir tahun.
Ini merupakan sisi gelap pelajar Jepang yang punya reputasi cemerlang dengan berbagai temuan-temuan inovatif mereka.
Sejumlah pelajar dengan mengenakan seragam sekolahnya masing-masing. Gadis-gadis dengan rok-rok mini bertebaran di jalan-jalan, sembari menyebar pamflet kafe-kafe Joshi-Kosei (JK).
Bisnis kafe semacam ini, menyediakan para pelajar cantik nan menggoda sebagai LC atau Lady Company, di mana para pelajar itu rata-rata mendapatkan USD8 atau sekira Rp110 ribu per jamnya sebagai LC.
Para pelajar yang rata-rata berusia 16 tahun itu, bisa dibilang sebagai teman kencan sewaan yang bisa menemani klien untuk “bersosialisasi”, serta menyediakan makanan dan minuman kepada klien-klien yang usianya dua kali lipat lebih tua.
“Kebanyakan dari mereka (pelanggan pria) berusia 30an, 40an dan 50an,” ungkap Honoka, salah satu pelajar yang menggeluti dunia Joshi-Kosei, disitat CNN, Selasa (29/12/2015).
Tapi kebanyakan dari pelanggan mereka, biasanya meminta sesuatu yang lebih dari “bersosialisasi” biasa. Banyak yang akhirnya mengajak para pelajar itu untuk berkencan di luar kafe, hingga mengajak berhubungan seks.
Di sisi lain, bisnis JK ini ternyata tak hanya sekadar menyediakan LC untuk “bersosialisasi”. Banyak tempat-tempat terselubung yang bahkan menyediakan para pelajar perempuan untuk layanan pijat “plus-plus”. Dampak negatif dari hal ini, adalah banyaknya kasus eksploitasi gadis di bawah umur, hingga pemerkosaan.
Tumbuhnya kultur Anime dan Manga juga jadi salah satu faktor merebaknya kasus pemerkosaan di Jepang. Meski pada 2014 pemerintah Jepang mengeluarkan undang-undang yang lebih tegas soal kasus pemerkosaan, tapi regulasi itu tak “menjangkau” produksi dan kepemilikan pornografi anak yang banyak terdapat di komik-komik anime serta manga.
Ya, di sejumlah komik anime dan manga, banyak digambarkan tentang pelecehan seksual gadis di bawah umur dengan pembenaran kebebasan berekspresi. Sebuah Hal ini turut diakui salah satu manajer sebuah Production House Manga, Hiroshi Chiba.
“Budaya yang kaya lahir dari sesuatu yang mungkin tak diterima semua orang. Yang pasti, kita harus menyediakan ‘area abu-abu’ terhadap eksisnya kejahatan (pelecehan dan pemerkosaan). Kejahatan yang menjijikkan,” timpal Chiba.
Sebagaimana pernyataan Kepolisian Jepang, tak bisa dipungkiri bahwa sejak tumbuhnya budaya anime dan manga, kasus kejahatan seksual dengan korban yang masih di bawah umur, meningkat sekitar 20 persen pada 2011-2012.
Pada 2013, tercatat lebih dari 6.400 anak di bawah umur jadi korban, termasuk 1.644 kasus pornografi anak dan 709 kasus prostitusi anak di bawah umur.
Terkait hal ini, sejumlah aktivis dari organisasi anti-pornografi, mendesak pemerintah Jepang untuk lebih sigap memberi perlindungan terhadap anak di bawah umur.
“Tak dipungkiri lagi bahwa Jepang masih jadi negara yang menolelir pornografi anak,” tulis pernyataan salah satu organisasi anti-perdagangan manusia, Lighthouse Center for Human Trafficking Victims.