Mengenal Seperti Apa Kampung Janda di Purwakarta

Agregasi Pikiran Rakyat, Jurnalis
Selasa 07 Juni 2016 14:26 WIB
Dua wanita di kampung janda Purwakrta terlihat duduk-duduk santai (foto: pronline)
Share :

JAWA BARAT – Dari Jatiluhur, perjalanan beranjak ke Kecamatan Tegalwaru guna menggali informasi tentang keberadaan satu kampung yang kebanyakan kaum perempuannya adalah janda.

Informasi itu awal peroleh dari para pemilik warung dan wisatawan di lokasi wisata Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat.

Setibanya di Tegalwaru, saya mendapat petunjuk arah yang simpang siur tentang lokasi kampung tersebut. Selama setengah hari mencari dengan berjalan kaki, yang saya dapati justru masyarakat di sana saling tuding letak kampung itu.

Dengan peluh yang bercucuran, pencarian menuntun saya memasuki satu desa bernama Tegalsari. Para tukang ojek menyatakan jumlah janda di Tegalsari cukup banyak. Mulai dari yang sudah berusia setengah abad lebih sampai janda muda umur belasan. Barangkali itulah desa yang dimaksud.

Kecuali pertanian, bisa dibilang kampung tersebut tidak punya potensi apapun. Sungai dan sawah tadah hujan kering saat kemarau. Padahal letaknya tidak jauh dari Waduk Jatiluhur. Kaum laki-laki bekerja jauh hingga ke luar pulau.

Di sejumlah rumah di pinggir jalan, perempuan dari berbagai tingkat usia terlihat duduk-duduk di pekarangan. Ada yang berjualan kecil-kecilan, ada yang menjemur gabah, mengasuh anak kecil, ada juga yang hanya melamun.

EN (55) adalah salah satunya. Sepanjang hidup, ia sudah 5 kali menikah. Pernikahannya ada yang berakhir karena perceraian, ada pula yang berakhir karena sang suami meninggal dunia. Ia menolak bercerita lebih jauh tentang kehidupan pribadinya.

"Di sini banyak juga perempuan yang pergi menjadi TKI di Timur Tengah. Beberapa di antaranya sudah janda ketika pergi. Saat pulang, justru mereka membawa anak kecil dengan wajah keturunan Arab," ujarnya seolah apa yang baru disampaikannya itu adalah hal biasa.

Menurut EN, ada juga beberapa perempuan muda yang sudah janda dan punya anak karena pernikahan di umur yang terlalu muda. Rata-rata usia perknikahan tidak lebih dari 10 tahun. Pernikahan juga terjadi antara warga sekampung dan jarang melibatkan laki-laki dari wilayah lain.

Akan tetapi meski bercerai, hubungan baik antara mantan suami-istri di Tegalsari tetap terjaga. Mereka masih saling mengunjungi terutama saat Lebaran. Soal penyebab perceraian, rupanya bukan hanya faktor ekonomi. Pudarnya kesetiaan sebagai faktor akar kuadratnya turut menjadi pemicu.

Suami yang bekerja di tempat yang jauh dan jarang pulang membuat beberapa perempuan berpaling kepada laki-laki lain. Ketika pulang dan menyandang status duda, sang laki-laki pun menikah lagi baik dengan janda maupun gadis. Jarang ada perempuan usia subur menyandang predikat janda dalam waktu lama. Setahun atau dua tahun, mereka sudah menikah kembali.

Saat singgah di salah satu warung, saya sempat bingung, kenapa tiba-tiba banyak perempuan umur 20-30-an yang berdatangan ke warung itu dan duduk-duduk di sekeliling saya. Padahal sebelumnya ketika baru saja duduk dengan kaki yang berdebu dan ransel yang masih menempel di punggung hanya ada saya dan seorang penjaga warung.

Duh, suasana membuat saya menjadi sedemikian canggung. Tanpa berlama-lama, saya langsung berpamitan dan angkat kaki padahal air kelapa muda yang dipesan masih tersisa lebih dari setengahnya.

Tingginya angka perceraian di Indonesia hingga menjadi yang tertinggi se-Asia-Pasifik sudah jadi berita basi. Media massa menyebut, sedikitnya 2 juta pernikahan dilangsungkan dalam setahun dan 10 persen di antaranya berujung perceraian dengan berbagai alasan. Salah satu alasan yang banyak disebut adalah kekerasan dalam rumah tangga.

Akan tetapi, penjelasan EN membuktikan jika perceraian tidak hanya terjadi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga melainkan karena sebentuk kepasrahan terhadap keadaan. Perceraian muncul tanpa ada gejolak konflik besar dan pertengkaran. Perceraian mucul karena kerelaan dan keikhlasan.

Pandangan msyarakat terhadap janda yang berlandaskan sikap tradisional sudah bermutasi. Menjanda tidak lagi mutlak dianggap sebagai keburukan atau ketidakberuntungan.

Menjanda, setidaknya di Tegalwaru, bisa pula ditafsirkan sebagai kehendak mandiri kaum perempuan untuk menggunakan hak dan menentukan dengan laki-laki mana ia hidup.

Sebutan single parent (orang tua tunggal) lebih berterima dibanding janda beranak 1, 2 atau, 5 sekalipun yang punya cap buruk.

Dilihat dari tampilan permukaannya, para janda yang saya temui di sana tidak pernah bermasalah dengan status tersebut. Jika laki-laki yang menduda dianggap biasa bahkan lebih berkarisma lantas kenapa janda punya status sosial lebih rendah? Itulah sepertinya kritik yang hendak disampaikan dengan sikap tidak mempermasalahkan.

Menjanda hanya soal takdir yang harus dijalani dan bukan melulu tentang kegagalan dalam berumah tangga.

Sepertinya Tegalsari bukanlah kampung janda yang saya cari. Harus saya akui dengan lapang hati, saya gagal menemukan kampung janda yang sebenrnya. Namun, pemaparan EN cukup sepadan dengan perjuangan pencariannya.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya